23. Perlawanan Akan Luka

32 6 1
                                    

🍁🍁🍁

Sebenarnya Sakura selama tak berbuat nakal di sekolah, pasti dirinya aman dari amukan sang Papa. Tapi ada juga datangnya hari saat tak perlu alasan yang jelas untuk tangan besar Papanya memberikan pukulan.

Sore ini, Sakura baru pulang sendirian karena Koushi ada kerja kelompok.

Lengan mungil gadis itu ditarik amat kasar dan dihempaskan ke lantai yang dingin, sontak saja Sakura meringis ngilu.

"Paㅡ"

"Diam. Saya gak suruh kamu buka mulut!"

Tanpa ada sang Mama juga, Sakura harus berhadapan sendirian melawan ayunan tongkat sapu. Beberapa kali teriakan menggema hanya untuk meminta penjelasan; apa salahnya kali ini?

Namun justru membuat emosi lelaki itu meluap lebih besar.

"Sejak kapan kamu jadi pelacur, hah?! Kamu mau ikut jejak wanita rendahan itu?!"

Rambut panjang Sakura ditarik hingga wajah gadis itu terangkat, ditampar pipi kirinya, juga pipi kanannya berkali-kali sampai darah keluar dari sudut bibir dan hidung sang gadis.

"Telepon rumah terus dihubungi orang-orang gak jelas! Nanya berapa harga kamu! Disewa ini itu! Minta dikirim foto kamu yang tak pakai apapun! ITU MAKSUDNYA APA, SAKURA?!"

"Sakura gak tau, Pa." Walau bergetar, suara Sakura masih tetaplah terdengar jelas. "Pasti itu cuma orang iseng. Sakura gak lakuin apapun. Sakura gak pernah berbuat kayak gitu. Bahkan Sakuraㅡ"

Brak!

Rambut gadis itu ditarik lebih kuat lalu tubuhnya dihempaskan hingga menabrak kaki sofa. Kepala Sakura pusing lagi, darah yang keluar bertambah dari siku dan lutut yang lecet.

"Mereka gak akan bertindak seperti itu tanpa alasan! Pasti kamu yang mulai! Kamu menjual diri, itu jelas! Apa uang yang saya kasih itu kurang?!"

Lagi, ayunan sapu itu kini mengenai sisi tubuhnya, membuat Sakura meringkuk. Seluruh tubuhnya menjerit kesakitan, namun tenggorokannya amat berat untuk mengeluarkan teriakan.

"Kamu benar-benar ingin menjadi seperti ibu mu itu kan? Darahnya kental sekali ada di tubuhmu yang menjijikkan ini! Pelacur, matre, tak tahu diri, jalang, perempuan paling bajingan yang pernah saya kenal!"

"PAPA!"

Seolah kekuatan datang sendiri dari hatinya yang terluka, Sakura berani berteriak sekencang yang ia bisa hingga seluruh raganya gemeter.

Tidak, jangan Mamanya. Walau Sakura tahu tindakan sang Mama itu salah, tapi dari rahimnya lah Sakura terlahir di dunia. Walau mendapat kehidupan getir seperti ini, Sakura tak pernah menyesal karena dilahirkan oleh Mamanya. Meski ada benci pada takdir, tapi tidak benci pada Mamanya.

"Papa gak ada hak buat menilai Namaku seperti itu. Mamaku bukan istri Papa lagi, jadi jangan hina Mama lagi!!"

Sakura susah payah mengangkat tubuhnya, menahan gemeteran hebat saat menggunakan kedua kakinya untuk berdiri, bersandar pada sofa, sosoknya yang penuh luka, lebam dan darah itu masihlah menunjukkan ketegaran.

"Aku gak membenarkan tindakan Mama, tapi aku juga gak bisa benci Mama dan Papa kandung aku, karena aku tahu ... aku lahir dari cinta mereka, meski caranya salah, tapi adanya aku di dunia ini sekarang cukup jadi bukti kalau Mama dan Papa ku pernah saling jatuh cinta."

Menahan semua luka yang menjerit ingin diobati, Sakura tetap bertahan di atas kedua kakinya sendiri.

"Sama seperti Kak Koushi yang lahir karena cinta, aku juga begitu."

Plak!

Satu tamparan keras mampu membuat gadis itu merosot namun sekuat tenaga Sakura menahannya dengan berpegang pada sofa.

"Jangan samakan anak di luar nikah hasil dari perselingkuhan sepertimu dengan anak dari wanita yang paling aku cintai!"

Lengan ringkih itu ditarik lagi, kali ini diseret tanpa memperdulikan Sakura yang terjatuh berkali-kali, hingga di luar rumah tubuh Sakura dihempaskan menyentuh hujan yang baru saja berjatuhan.

"Anak jalang tak tahu berterima kasih. Jika bukan karena Koushi yang menginginkan seorang adik, pasti aku tak memungutmu dari tempat kumuh itu! Sial! Harusnya saat itu aku mengambil anak lain, tapi kau yang licik keluar dari kamarmu begitu saja dan menemui istriku malah membuat semuanya hancur!"

"Kamu yang minta dipungut! Kamu juga yang tidak tahu diri! Anak haram!"

Bersama luapan emosi yang memuncak, gagang sapu itu dilempar begitu kuat ke arah Sakura yang masih terduduk di teras rumah bersama hujan, tepat mengenai kepalanya hingga darah lainnya keluar mewarnai keningnya yang memar.

BRAK!

Pintu dibanting kuat dan terdengar lubangnya dikunci, menjadi tanda kalau Sakura tak dipersilahkan masuk sampai sang kepala keluarga memberikan izinnya.

Sakura layaknya batu yang diguyur hujan deras tanpa ampun, entah air mata atau air hujan yang membasahi pipinya, tak ada yang tahu. Mata gadis itu buram saat menunduk, melihat air hujan yang bercampur dengan darah dan luka-lukanya. Tubuh gadis itu menggigil tak karuan lagi, mati rasa sampai susah untuk mengeluh kesakitan.

"Sakura!!"

Bersama teriakan, disusul derap langkah kaki dan sebuah pelukan hangat, Sakura baru bisa mengeluarkan tangisnya.

"Sakit, Rin."

Suna Rintaro, entah ada gerangan apa datang ke rumah sang gadis di sore hari bersama motornya menerobos hujan, mungkin firasat atau instingnya yang menuntun. Suna bisa langsung menemui gadis itu bersama lukanya.

"Iya, gue tau." Didekap erat tubuh Sakura yang semakin pucat, melihat semua luka yang terlihat dan tak terlihat dari gadis itu cukup menggerogoti hatinya. "Kita sembuhin ya, Ra?"

Menyelipkan tangannya di lekukan lutut dan bahu gadis itu, Suna membawa Sakura dalam gendongan lembut dan hangat walau dinginnya hujan ingin mengusik.

"Di apartemen gue."



■□■□■□■□■



---
Meski bisa bela diri, tapi kalo lawannya orang tua ... Sakura juga gak berani, bukti sang anak masih ada sayang, walau sedikit

Salam,
zipidizi
---

TONGKRONGAN SENDAKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang