CHAPTER TWENTY SEVEN

23 4 0
                                    

RUNNING TIME

Air matanya luluh, melihat pantulan dirinya didepan cermin. Semakin hari, semakin terlihat tirus wajahnya, semakin lama, semakin parah pula penyakitnya.

Malam ini, tiba tiba ia teringat dengan wajah wajah Mama dan Papa. Dibandingkan rindu dengan siapapun, rindu dengan mereka lah yang selalu membuatnya terluka.

Jangankan memanggil nya dengan kata Sayang, menyapa dengan kata Assalamualaikum saja mereka sudah lupa.

Terkadang, ia berpikir yang tidak tidak. Jika ia di tuntut untuk memilih salah satu dari orang tuanya, maka bolehkah nantinya, ketika ia dan sang adik telah dewasa, dan meminta agar orang tuanya memilih salah satu dari mereka, apa mereka tidak bingung.

Siapapun orangnya, pasti mereka ingin tinggal bersama.

Ia beranjak dari sana, dan membanting dirinya diatas kasur. Menumpahkan segala rasa sakitnya, jujur, tidak ada yang lebih sakit dari pada rindu dengan orang tua.

Mungkin, Zeyva merindukan mereka. Tapi, apa lagi yang harus ia lakukan. Sekeras apapun ia mencoba untuk seperti dulu, pasti tidak akan bisa.

Zeyva rindu, tapi pilu. Setiap kali merasakan itu, ia selalu teringat akan perbuatan orang tuanya akhir akhir ini.

Bagaimana sakitnya merindukan orang yang selalu melukai hatinya?

"Aku pengin di peluk Mama Papa." Lirihnya.

Kini, ia terbaring lemas diatas kasur, menatap langit langit malam dengan mata yang sembab. Yang selalu ia bayangkan adalah, ia bisa tidur dengan kedua orang tuanya.

Sang Ibu di kanan, dan sang Ayah di samping kirinya. Mendekapnya dengan erat, memeluknya dengan hangat, dan memberikan rasa kasih sayang yang lekat.

Tapi, rasanya tidak akan mungkin akan terjadi.

*******

Kakinya mendekat, menatap kedua mata sendu kekasihnya dengan lekat. Gadis itu tersenyum tipis, malam ini, menjadi malam yang sedikit menyakitkan bagi Zeyva.

Kedua matanya terlihat memerah, menunjukkan bahwa gadis itu baru saja menumpahkan banyak air matanya.

Perlahan, tangan nya bergerak membelai pipi Zeyva. "Kamu kenapa?"

Zeyva menggeleng. Ia terus saja menampilkan senyumnya. Namun, Raihan tahu, senyum itu palsu. Tampak jelas banyak luka pada mata gadis ini.

Tidak mungkin kalau sedang baik baik saja.

Tak lama, ia menarik tubuh Zeyva kedalam pelukannya. Membiarkan gadis itu kembali menumpahkan air mata, membiarkan gadis itu meluapkan segala amarahnya.

"Aku tahu, kamu lagi nggak baik baik aja, Zey. Masih ada aku, cerita kalau lagi capek." Bisik Raihan.

Sontak hal itu membuat Zeyva kembali menitikkan air mata. Apalagi, saat ia merasakan telapak tangan Raihan mengusap punggungnya dengan lembut.

Zeyva lemah kalau tentang orang tua. Ia tidak bisa menangis seperti ini, setiap mengeluarkan buliran bening itu, kakinya selalu lemas.

Cepat cepat ia melepaskan pelukannya, dan menghapus jejak air mata.

"Nggak papa, jangan khawatir."

"Beneran?"

Zeyva mengangguk. Melihat itu, Raihan hanya bisa tersenyum simpul. "Yaudah, ayok."

Raihan menggandeng tangan pacarnya menuju sebuah kendaraan antik yang terparkir di halaman depan.

Setelah memasangkan helm dengan benar, Zeyva menaiki motor itu, membiarkan Raihan membawanya berkelana bersama.

RUNNING TIME (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang