CHAPTER FOURTEEN

35 6 0
                                    

RUNNING TIME

Zeyva menatap Jendela Rumah Sakit yang ada disamping kanan, kedua matanya terlihat bengkak. Sejak kejadian kemarin, Zeyva tak henti hentinya mengeluarkan air mata.

Sang Ayah datang bukannya membawa bahagia, malah memberikan luka baru untuknya. Ayah yang katanya akan selalu menjadi Pahlawan, malah menjadi sumber sakit yang kini ia rasakan.

Tubuh Zeyva bergetar saat air matanya kembali membasahi pipi. Tentu ia sangat sakit hati atas perlakuan dari Mahen.

Pintu ruangan tiba tiba terbuka, menampilkan seorang gadis perempuan pemilik senyum manis. Dia Amy. Sudah satu hari ia tak bertemu dengan Sahabatnya.

Kedua mata Amy terbelalak tatkala melihat perban yang melingkari kepala Zeyva. Ia pun kembali terkejut saat Zeyva menatap dirinya. Kedua mata Zeyva yang membengkak, dan berwarna merah.

Separah apa luka yang diciptakan oleh Mahen?

"Zeyva," panggil Amy dengan lirih.

Mendengar namanya dipanggil oleh Amy, Zeyva tersenyum getir. Air matanya tak berhenti mengalir, menggambarkan hatinya yang terasa berselir.

Amy menutup mulutnya tak menyangka, ia segera memeluk sang sahabat. Rasanya sakit melihat Zeyva sedih.

Perasaan baru kemarin ia melihat Zeyva tertawa sambil kegirangan. Tapi, kini ia sudah melihat Zeyva kembali merasakan rintangan.

Rintangan hidup Zeyva tak main main. Ia harus mengikhlaskan perceraian kedua orang tuanya, Ia harus tinggal sendiri selama bertahun tahun, ia harus bisa menahan rasa sakit yang Ayah dan Ibunya berikan.

"Sakit banget, Amy." Rintih Zeyva dengan nada yang bergetar.

Amy hanya bisa mengangguk. Ia terus memeluk erat Zeyva, ia bisa merasa punggungnya basah. Tangisan Zeyva begitu deras.

Hatinya sedikit ter cubit mendengar rintihan dari sahabatnya.

"Sesakit itu, ya, Zey," batin nya.

Setelah merasa cukup lama, akhirnya Amy melepas pelukannya. Ia kembali menatap wajah Zeyva. Saat seperti ini pun, gadis itu masih sempat tersenyum lada dirinya.

Bukannya merasa bahagia, Amy malah semakin sakit melihat senyuman itu. Senyuman yang ia pastikan hanya untuk berpura pura.

"Lo kuat, Zey, Lo hebat. Lo pasti bisa." Amy mengepalkan tangannya dan bergerak, menandakan bahwa ia sedang memberikan semangat kepada Zeyva.

"Nggak bisa, My, g--gue capek. Papah b--benci gue." Ungkap Zeyva sembari menggelengkan kepala. Tangannya terangkat menutup telinganya.

Kalimat "Papah benci kamu." Terus terngiang-ngiang di dalam sana.

"Nggak. Pasti Om Mahen sayang sama Lo, Zey. Gue yakin, mungkin dia lagi capek, gue yakin,"

Amy mengatakan itu bukan karena ia membela Mahen, ia hanya tidak mau nantinya Zeyva akan membenci sang Ayah. Ia tahu, Mahen sangat bersalah atas ini semua.

"Gue pengin bahagia, My,"

Amy tersenyum. "Ingat kata kata gue, Zey. Tidak akan ada bahagia, jika tidak ada luka. Percayalah, jika kesedihan, akan terganti oleh kebahagiaan."

Zeyva menutup matanya setelah mendengar perkataan dari Amy. Ia menatap sendu ruangan bernuansa putih yang sekarang ia huni.

"Gue cuma capek, Amy."

"Suatu saat nanti, capek Lo bakal tergantikan, Zey."

******

Pena nya menari nari diatas kertas putih. Rasa lelah akan selalu melekat pada dirinya, ia bingung. Mengapa hidupnya tidak jelas seperti ini.

RUNNING TIME (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang