Sejak berurusan dengan bapak dan anak Prawirohardjo, mood Anye sudah buruk.
Dan bertambah buruk saat tahu dia akan menjadi juru bicara perhiasan bermerk dari perusahaan milik keluarga Prawirohardjo.
Siang ini, setelah pemotretan pagi yang cukup melelahkan, Anye harus menghadiri meeting dengan petinggi perusahaan serta orang-orang terkait untuk membahas perihal kerjasama mereka.
Sejak menginjakan kaki di lobi perusahaan, Anye tak henti menatap kejam Yulia dan Sasti yang seenaknya mengambil pekerjaan tanpa persetujuannya.
Sedang yang ditatap, berusaha menghindari kontak mata dengan Anye seolah mereka tidak tau apa-apa.
Ya mau gimana lagi, Yulia dan Sasti tidak tau jika Anye akan punya urusan maha penting dengan CEO muda Prawirohardjo.
Mau batalin nggak mungkin, nggak mau rugi tepatnya. Mahal tau biaya ganti pelanggaran kontrak jaman sekarang, Anye pun pasti tidak sanggup menghadapinya. Buktinya, meski terus mendelik kejam, Anye tetap jalan masuk ke perusahaan.
Anggap saja ini sebagai batu loncatan. Kalau suatu saat Anye dan kang duda keciduk wartawan, bilang aja mereka dekat karena urusan kerjasama.
"Aduh, apa mba Anye gak takut itu matanya keluar. Dari tadi melotot mulu perasaan." Batin Sasti sambil curi-curi pandang pada Anye.
Tidak lama kemudia, Bagas dan rombongannya memasuki ruangan dan meeting pun dimulai.
Selama meeting, Bagas tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Anye.
Terpesona? Iya. Tapi lebih dari itu, dia kesal dengan pakaian Anye yang dinilainya sangat kurang bahan.
Berbeda dari yang Anye kenakan tadi pagi, kali ini dia mengenakan gaun floral setengah paha dengan belahan dada rendah, bahkan Bagas bisa melihat sebagian daerah dadanya dari celah pinggir pakaian.
Anye sangat cantik dan juga sexy, sedari tadi semua pria di ruang meeting selalu mencuri pandang ke arahnya.
Ada yang terang-terangan, ada pula yang malu-malu.
Tepat di penutupan meeting, Bagas pun menyela dengan sinis. "Bunga Anyelir Danuarta, izinkan saya memberitahu bahwa anda disini sebagai juru bicara merk perhiasan, bukan merk lingering. Mulai hari ini hingga kedepannya, harap jaga nama baik merk kami dengan menggunakan pakaian yang sopan dan tidak kekurangan bahan seperti itu."
Mendengar nada sinis Bagas, hati Anye bersorak. Cemburu nih, pasti.
"Loh apa yang salah dengan pakaian yang saya kenakan hari ini? Saya tidak keberatan, dan orang lain pun tidak keberatan. Kenapa? Oh saya tau, Bapak tergoda? Dari tadi mata bapak gak pernah lepas dari dada saya. Nyebut pak, inget kuburan istri masih basah." Jawab Anye santai, sengaja membuat panas keadaan.
Mendengar ucapan Anye, para karyawan yang ada di ruang meeting menatap Anye takjub sekaligus kasian.
Mereka takjub karena baru kali ini ada yang berani melawan bos apalagi membawa topik bu bos yang baru saja meninggal.
Tapi mereka juga kasian terhadap Anye, takut jika Anye akan mengalami kesulitan akibat amarah bos mereka.
Ngomong-ngomong, mereka juga penasaran. Apa iya pak bos dari tadi curi-curi pandang pada dadanya Anye.
Diluar dugaan, Bagas masih santai menanggapi ucapan sembrono Anye. "Anda pikir saya tergoda? Dengar, tidak semua lelaki suka dengan barang murahan yang dipamerkan sana-sini."
Kesal dengan lidah bon cabe level sekian milik kang duda, Anye menatap satu per satu lelaki di ruang rapat. "Menurut bapak-bapak disini, saya cantik gak?"
"Cantik, Mbak."
"Sexy, gak?"
"Sexy, Mbak."
"Suka, gak?"
"Suka, Mbak."
Jawab mereka serempak dengan menganggukan kepala antusias tanpa berpikir panjang.
"Tuh kan, mereka aja pada suka. Kalo bapak gak suka ya gak apa, saya gak maksa. Selera bapak yang aneh, ngapain saya yang repot. Udah selesai, kan? Permisi." Riang Anye meninggalkan ruang meeting sambil dadah-dadah manja.
Bagas menatap semua karyawan lelaki disana dengan dingin dan datar. "Kalo tidak salah, tambang intan di Kalimantan sedang kekurangan banyak tenaga kerja. Doni, segera urus semua berkas transfer pegawai, kalo sudah selesai, bawa keruangan saya untuk ditanda tangan."
Para karyawan pria yang mendengarnya langsung berkeringat dingin, sedang Doni menghela nafas lega karena tidak ikut menjawab pertanyaan Anye.
"Selamat, selamat." Syukur Doni dalam hati.
***
Sudah tiga hari Bagas dan Seruni tinggal bersama Anye, sudah tiga hari pula perut mereka menderita.
Anye tidak pernah lagi meminta menejer dan asistennya masuk apartemen apalagi membawa makanan.
Anye jago memasak, dia akan memasak sendiri untuk sarapan dan makan malamnya.
Benar-benar memasak sendiri, untuk dirinya sendiri. Tak peduli raungan cacing di perut Bagas dan Seruni, maka yang bisa Bagas lakukan hanyalah memesan makanan dari luar atau sesekali memasak nasi goreng, satu-satunya makanan yang bisa Bagas masak meski rasanya kadang hambar, kadang asin, kadang manis, kadang pas.
Menjelang tidur, Bagas mendekati Anye yang sedang bersantai menonton drama di atas ranjang, sedangkan Seruni sudah tidur lelap di kasur busa yang sengaja digelar lesehan di lantai.
Semenjak diijinkan tinggal di kamar Anye, Bagas langsung membeli tempat tidur untuk Seruni.
"Eh, apaan nih? Hush, hush, jangan deket-deket." Usir Anye memukul Bagas dengan guling kesayangannya.
Tak bergeming, Bagas merebahkan dirinya di atas ranjang Anye, kemudian menarik Anye untuk berbaring di pelukannya.
"Sayang, kita gak bisa begini terus. Aku dan Seruni keluarga kamu, kami membutuhkanmu. Mulai besok, akan ada orang yang bantu membersihkan rumah dan mencuci pakaian, tapi tolong memasak untuk kami. Aku udah bosen makan masakan luar sama nasi goreng terus, please." Ucap Bagas setengah memohon setengahnya lagi merayu sambil mengelus lembut surai Anye, dengan sesekali mengecup keningnya penuh kelembutan.Melihat Anye yang akan protes, Bagas pun menyela. "Aku kasih uang belanja lebih, kamu mau berapa? Tinggal bilang aja."
"Yang banyak pastinya, harus lebih banyak dari uang bulanan istri Raffi Ahmad." Setuju Anye setelah mendengar kata uang belanja lebih.
Ayolah, Anye tuh lemah banget kalau sudah disayang-sayang begini, apalagi ada bonusnya. Lumayan, kan.
"Iya, nanti aku telpon Raffi Ahmad buat nanya uang bulanan istrinya. Oh iya, minggu depan ulang tahun bunda. Kita disuruh kesana buat makan malam keluarga, kamu tolong cariin kado sekalian hadiah buat semua orang di rumah. Ini kartunya, pin nya tanggal pernikahan kita." Rayu Bagas sambil mengeluarkan kartu warna hitam yang langsung disambar sang istri.
"Sekalian beliin baju baru buat Seruni ya, kemeja buat aku juga, tadi pagi yang warna mocca kancingnya lepas." Lanjut Bagas mencoba peruntungannya.
"Iya, bawel. Diem, sih. Tidur sini." Judes Anye yang tanpa sadar malah membawa Bagas ke pelukannya.
Anye tidak mengusir Bagas dari ranjangnya karena tidak mau ribet buang-buang tenaga untuk hal yang percuma.
Bagas kicep kesenengan saat sang istri memeluknya, terlebih saat kepalanya disandarkan pada tempat yang empuk-empuk nikmat kesukaannya.
Tanpa sepengetahuan Bagas, Anye tersenyum setan seraya memainkan kartu ditangannya. "Keluarga tercinta? Tentu saja, aku akan menyiapkan hadiah spesial. Sangat spesial."
Bersambung ...
#staysafe
#stayhealthy
#saynotoplagiarism
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...