Bab 40

24.9K 973 7
                                    

Kedamaian keluarga Prawirohardjo berlalu begitu cepat, dan semua itu karena Samudra.

Tangis Mbok Siem semakin menjadi semenjak Seruni lebih memilih pergi bersama dengan ayahnya.

Semua orang bingung, tidak tau harus bicara apa. Untuk bertindak, pun lebih bingung lagi.

Bagas sedang bersama Tuan Prawirohardjo di ruang kerja sang ayah, barangkali membicarakan solusi untuk masalah ini.

Nyonya Prawirohardjo sibuk menenangkan Mbok Siem meski hanya sebatas elusan di tangan.

Jangan tanya dimana Arunika, karena bocah itu biasa kabur jika sedang berhadapan dengan situasi sulit. Sekalian saja, Anye suruh si bungsu membawa serta Dipta. Biar kaburnya bermanfaat.

Ingin sekali Anye mengikuti jejak si adik ipar, tapi rasanya tidak mungkin. Dia harus lebih dewasa dan bijak dalam menyikapi permasalahan yang menimpanya. Secara, anak udah mau dua.  Tidak mungkin jika dirinya terus kabur-kaburan seperti yang kemaren-kemaren.

Tak lama, Bagas dan Tuan Prawirohardjo keluar dan menghampiri mereka dengan raut wajah serius tanpa ekspresi sedikitpun.

Anye menyipitkan matanya kesal, dia tidak suka melihat suaminya yang seperti itu. Sangat menyebalkan menurutnya.

"Mbok, udah dong nangisnya. Bagas janji usahakan yang terbaik untuk Mbok dan juga Seruni." Bujuk Bagas sambil berlutut di depan Mbok Siem.

Ini juga Anye nggak suka. Barusan aja pas gak sengaja ketemu tatap dengan Anye, si akang masih sedatar jalan tol.

Giliran ngomong sama Mbok Siem, kok lembut banget. Bikin senewen aja.

"Benar, Mbok. Gak usah mikirin apa-apa dulu, sekarang mending mbok istirahat saja." Ujar Tuan Prawirohardjo mencoba menenangkan.

Mbok Siem bisa mendengar dan memahami ucapan Bagas dan tuan Prawirohardjo, namun perasaannya yang kacau membuat dia tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun.

"Ayo, Mbok. Saya antar ke kamar." Ucap Nyonya Prawirohardjo sembari membantu Mbok Siem berdiri sekaligus memapahnya menuju kamar yang terletak agak di belakang.

Usai membantu Mbok Siem istirahat dan menitipkannya pada ART yang lain, Tuan dan Nyonya Prawirohardjo memilih beristirahat di kamar.

Anye terdiam menatap Bagas yang tengah duduk bersandar pada sofa ruang keluarga dengan mata tertutup.

Entah kenapa Anye merasa bersalah pada suaminya itu. Cintanya membuat Bagas dan orang-orang didekatnya kesulitan, bahkan dirinya sendiri pun ikut merasakannya.

Anye akui jika dirinya memang sangat egois, dia hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Bagaimana perasaan Bagas yang sudah dia obrak-abrik kehidupannya?

Bagaimana perasaan Dipta yang pernah dia buang begitu saja?

Ayah? Bunda?

Anye sungguh merasa bersalah.

Merasakan tatapan intens dari Anye, Bagas pun berujar. "Dari pada lihatin aku sambil ngelamun begitu, mendingan sini. Kepala aku sakit, tolong pijitin."

Anye bergegas menghampiri Bagas tanpa bantahan ataupun sanggahan, dia membiarkan Bagas merabahkan kepala di pangkuannya sebelum mulai memijit.

"Tumben nurut." Canda Bagas saat mendapati sikap tak biasa istrinya.

Sebenarnya Bagas tau keruwetan yang sedang dialami Anye, tapi dia memilih diam. Membiarkan istrinya itu merenungkan diri.

Anye bukan orang jahat, hanya saja sikap dan ucapannya yang terlalu jujur seringkali melukai orang lain tanpa disadari.

Anyelir Tak Pernah LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang