Bab 39

19K 917 9
                                    

Dan benar saja, yang dicari memang masih belum bisa melepaskan diri dari cengkraman siluman ular. Lebih tepatnya, tidak ingin melepaskan diri.

Laki-laki normal mana yang akan menolak jika disuguhi pelayanan super prima oleh seorang wanita cantik nan sexy sekelas Bunga Anyelir Danuarta. Senyuman sensualnya saja sudah cukup untuk membuat Bagas terasa ngilu.

Bagas loh, ya. Bukannya semua lelaki. Anye tahu jika dirinya punya daya tarik seksual yang tinggi, dan hal ini membuatnya cukup berhati-hati.

Anye suka menggoda, tapi sebatas verbal. Pun pada Pak Andri. Meski disertai gesture tubuh, tapi Anye menyadari batasannya.

Semua godaan fatal itu tanpa sadar hanya akan keluar jika sudah berhadapan dengan seorang Bagaskara Prawirohardjo.

Apa Anye kena pelet? Bisa-bisanya sebucin ini sama si akang.

"Kamu pelet aku, ya?" Gumam Anye yang tengah memberikan pijit plus-plus pada si bapak.

Gimana nggak plus-plus, orang yang mijit cuma pake cd mana tangannya kelayapan suka-suka.

"Nggak usah ngaco." Jawab Bagas malas, sekaligus takjud dengan isi kepala istrinya itu.

Pelet katanya? Dikira Bagas orang primitif apa main yang begituan.

"Enggak, ya? Kok aku bucin banget sih sama kamu." Ujar Anye menumpukan dagunya pada bahu Bagas yang tengah tengkurep.

"Apa bucin?" Tanya Bagas dengan kening berkerut.

Apa katanya? OMG. Salahkan Anye yang terlalu merakyat sehingga lupa jika suaminya itu merupakan kaum elit, gak mungkin tau yang beginian.

Tok tok tok.

Suara gedoran pintu cukup untuk mengalihkan dua sejoli dari pembahasan yang sangat tidak penting.

"Spada. Ada orang, gak?" Teriak Arunika di depan kamar Bagas yang memancing kekesalan Anye.

"Bentar sih, gak usah berisik. Ini tuh rumah elit, bukannya hutan." Teriak Anye tak mau kalah.

Jelas Anye kesal, niat hati ingin menghabiskan quality time berdua mumpung Dipta dibawa main golf sama kakeknya buyar sudah.

Anye kan mau berduaan sampe jam makan siang, baru juga jam sembilan sudah diganggu saja.

Kesal, Anye mengenakan pakaiannya asal.

"Apa?" Ketus Anye dengan wajah malas sesaat setelah membuka pintu.

"Bener-bener gak tau malu. Mantu jenis apa yang belum keluar kamar jam segini, gak ada takut-takutnya sama mertua. Itu juga bajunya, gak ada malu-malunya. Dikira situ doang yang punya gunung gede, punyaku juga bisa diadu. Dijamin nggak kalah. Lebih kenceng malahan, perawan ini." Dumel Arunika sangat ngawur, untungnya hanya di dalam hati.

Kalau diucapkan, ya wasalam sama uang jajan bulanan dari mas-nya.

"Ada tamu, nyariin Mas Bagas." Jawab Arunika tak kalah malasnya.

"Siapa?" Tanya Anye penasaran. Pasalnya, orang yang biasa ngintilin Bagas kemana-mana hanyalah Doni si asisten super.

"Gak tau, gak lihat." Jawab Arunika ogah-ogahan.

"Ok, thanks." Balas Anye langsung menutup pintu di depan wajah Arunika.

"Sabar, Cantik. Orang sabar, semoga jodohnya pak dosen ganteng. Aamiin." Sugesti Arunika pada dirinya sendiri.

"Aku temuin tamunya dulu. Kamu mandi gih." Ujar Bagas yang baru keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian rapi yang dijawab Anye dengan gumaman.

***

Anye menyernyitkan keningnya bingung saat melihan kanjeng mami dan tuan putri sedang dalam mode tetangga kepo yang hobi ngintipin masalah rumah tangga orang. Mirip Bu RW and the geng.

"Lagi ngapain?" Tanya Anye pelan.

"Sssssssssst." Desis mereka berdua kompak.

Disana, di ruang tamu. Bagas tengah lomba menatap setajam silet dengan Samudra, sedang Mbok Siem tak kuasa menahan isak tangis atas kenyataan yang baru diketahuinya itu.

"Saya mau anak saya." Ujar Samudra memecah keheningan.

"Apa maksud anda?" Jawab Bagas mengelak.

Samudra mencoba untuk bersabar. "Anda ngerti maksud saya."

"Apakah anda pikir anda layak?" Tanya Bagas yang memukul telak bagian sakit Samudra.

Samudra tidak bisa kalah, demi putrinya. "Tidak ada yang lebih berhak daripada saya."

Benar, Samudra yang lebih berhak jika dibandingkan dengan Bagas.

"Yang saya tanya adalah apakah anda layak?" Ujar Bagas kekeh dengan pertanyaannya.

Samudra tahu jika dirinya memang tidak layak, tapi memangnya kenapa. Dia ingin anaknya, buah cintanya dengan sang kekasih.

"Saya benci dengan kenyataan dia menyembunyikan rahasia besar dari saya, tapi cinta saya jauh lebih besar dari kebencian itu. Saya tidak bisa memilikinya, saya menginginkan versi kecil dirinya." Jawab Samudra lirih. Mengingat Elina, dan semua kenangan mereka.

Samudra yang dulu terlalu pengecut untuk memperjuangkan cintanya. Ancaman tidak dianggap anak dan pengusiran dari kediaman mewah orang tuanya membuat dirinya ketakutan hingga menyerah tanpa perjuangan.

Dia pikir, mendapatkan tubuh Elina sudah cukup untuk menuntaskan perasaanya. Nyatanya dirinya salah, melihat segala pemberitaan tentang Elina dan Bagas nyatanya masih sangat mempengaruhi hati dan pikirannya.

Puncaknya, ketika dia tau jika cintanya telah pergi, Samudra hancur. Waktu serasa berhenti entah di titik yang mana.

Tapi sekarang, ada Seruni. Anaknya, anak mereka, dia ingin memberikan semua cintanya yang hilang kepada Seruni.

"Kamu memang bisa mencintainya, tapi bagaimana dengan istrimu? Keluargamu? Keluarga kalian?" Ujar Bagas penuh kekhawatiran.

Bagas tahu Samudra sangat mencintai Elina, dia pun pasti akan mencintai Seruni. Tapi, bagaimana dengan anggota keluarganya yang lain? Jika mereka semua bisa minimal menerima Seruni, Bagas tentu tidak keberatan menyerahkan Seruni pada Samudra.

Samudra sudah hapal bagaimana watak istri dan keluarganya, tapi dia tidak mau menyerah. Kini, dia rela mengorbankan segalanya, untuk Seruni. Anaknya sudah cukup menderita karena keegoisannya, sikap pengecutnya.

"Saya ayahnya." Jawab Samudra tidak begitu yakin.

Ayah? Apa yang pernah dia lakukan sebagai seorang ayah untuk Seruni? Tidak ada, sekalipun.

"Hanya setetes bagian dari tubuh anda tidak bisa menjadikan anda sebagai seorang ayah. Pulanglah. Keluarga saya tidak kekurangan uang jika hanya untuk membesarkan satu orang anak tambahan." Ujar Bagas yang cukup untuk mematahkan harapan Samudra hari ini. Ya, hari ini.

Samudra tau, jika lelaki dihadapannya sudah banyak berkorban untuk wanitanya, untuk anaknya. Dia tidak akan melawan, tapi dia juga tidak akan menyerah.

Samudra tidak keberatan jika harus datang ke rumah ini setiap hari.

"Seruni mau sama ayah." Suara serak itu cukup untuk menjadikan Seruni pusat perhatian.

"Seruni mau ayah." Gumam Seruni lagi disertai air mata yang mulai membasahi kedua pipi tembemnya.

Mata Samudra memerah, air matanya menetes tanpa dia sadari.

Perlahan, Samudra melangkah ke arah Seruni. Dengan gemetar, dia usap air mata di wajah cantik putrinya. "Anak ayah."

Seruni menghambur ke pelukan Samudra, ayahnya yang sudah lama sekali ingin dia jumpai secara langsung.

Selama ini Seruni hanya bisa melihat sosok sang ayah dari foto yang diberikan bundanya, atau di tv bersama Mama Anye.

"Seruni mau ayah." Gumam Seruni tersedu di pelukan Samudra.

"Apa maksud mu, Ndok. Gimana sama mbok?" Tangis Mbok Siem dengan berusaha mengambil Seruni dari pelukan Samudra.
Seolah tak mendengar, Seruni terus bergumam. "Seruni mau ayah."

Bersambung ...

#staysafe
#stayhealthy
#saynotoplagiarism

Anyelir Tak Pernah LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang