"Kenapa gak kasihin Seruni ke bapaknya aja? Keluarganya si Samudra kan gak kalah kaya dari ayah." Ujar Anye sembari memangku satu toples kacang mete yang sudah habis hampir setengahnya.
"Elina nitipin Seruni sama aku, kamu juga. Lagian kamu tau kan gimana keluarganya Samudra? Terutama istrinya, partner ribut sekaligus saingan kamu itu." Jawab Bagas setengah menyindir.
"Iya juga sih. Si lampir Alinda kan galak banget, kasian juga Seruni punya ibu tiri kayak gitu." Cerocos Anye menggebu-gebu.
Bagas menatap istrinya itu dengan sebelah alis terangkat, lalu bergumam. "Gak nyadar diri."Untung Anye tidak dengar. Kalau iya, bisa-bisa sesebapak harus legowo tidur sama Dipta malam ini.
"Sebenernya aku penasaran banget, gimana reaksi si Alinda kalau tau suaminya punya anak dari perempuan lain. Seru tuh pasti, aku harus ngajakin si Yulia buat nobar." Ucap Anye antusias, membayangkan adegan seru yang akan ditontonnya nanti.
Duo A itu memang tidak pernah bisa akur, padahal masalah awal mereka itu hanya karena rebutan sosis bakar di kantin sekolah yang saat itu hanya tinggal satu.
Dari masalah sosis bakar yang harganya cuma lima ribu, merembet kemana-mana hingga terhubung dengan sosis-sosis lainnya.
"Tapi Seruni kan cantik dan pintar. Jadi anak tiri si Alinda gak akan seburuk itu buat dia, paling nanti disuruh bersih-bersih, masak, sama nyuci kayak Cinderella. Kalau udah besar, nanti juga ditolongin sama pangeran berkuda putih. Nikah, bahagia selamanya." Ujar Anye ngasal, dikira ini negeri dongeng apa.
"Dan pangeran berkuda putihnya itu Dipta." Jawab Bagas yang lelah dengan omongan ngelantur istrinya itu.
"Ih, gak boleh. Enak aja, masa Dipta." Kesal Anye melempar satu biji kacang mete pada Bagas.
"Kan kamu sendiri yang bilang Seruni cantik dan pintar, punya menantu seperti itu bukanlah hal yang buruk. Lagian kamu ini ada-ada aja, kita hidup di dunia nyata bukannya dunia dongeng." Jelas Bagas dengan menahan diri untuk tidak berdecak kesal.
"Menurut kamu, kenapa Samudra hubungi aku? Apa dia curiga sesuatu?" Tanya Anye mengalihkan pembicaraan.
Si nyonya memang seaneh itu. Sebentar ngamuk, sedetik kemudian ketawa. Dasar perempuan, seenaknya saja ubah topik pembicaraan.
Anye tidak sempat menjawab panggilan Samudra. Saat sudah tinggal beberapa meter dari posisi Bagas, telpon dari Samudra terputus. Dan tidak ada lanjutannya hingga sekarang.
"Wajar aja kalau dia curiga. Dulu dia bisa mikir kalau Seruni anak aku, sekarang gak mungkin lagi. Dia bisa mempelajari kebenaran dari berita yang beredar, terlebih Seruni memang mirip sama dia." Ucap Bagas dengan menerawang.
Saat dia membuka kebenaran pada khalayak umum, dia tau jika dirinya tidak akan bisa menghindari masalah ini.
Bagas sudah bersiap dengan segala kemungkinan. Semua untuk satu tujuan, kebaikan Seruni.
"Bener juga. Kenapa aku gak nyadar ya kalau Seruni itu mirip Samudra." Gumam Anye mengerutkan keningnya berpikir.
Sadar dengan tatapan lekat Bagas, Anye pun menutup matanya. Berpikir akan mendapatkan cap bibir.
"Gak jadi kiss-nya?" Tanya Anye saat ciuman yang dinantinya tak kunjung berlabuh.
Bagas menghela nafas pasrah sebelum memberikan kecupan kilat, sejujurnya dia sama sekali tidak berniat mencium Anye. Alasanya menatap lekat sang istri adalah karena dia heran dengan pola pikir istrinya yang sangat ajaib, gak pernah nyadar kalau dirinya itu memang kurang pinter.
"Gimana perasaan kamu untuk Seruni sekarang?" Tanya Bagas serius.
"Gak banyak perubahan." Gumam Anye dengan agak tidak enak hati.
Anye sudah biasa memperlakukan dengan gaya yang eksentrik dalam tanda kutip, aneh aja jika harus berubah tiba-tiba.
Bagas menyudahi acara memangku laptopnya, dia rebahkan kepalanya di pangkuan Anye.
Dihadapkan wajahnya pada perut Anye yang mulai terlihat menggelembung lalu menciumnya penuh sayang. Untuk princess-nya, Bagas yakin jika sang princess yang ada di dalam sana.
"Aku ada rencana untuk adopsi Seruni." Ucap Bagas setelah sesi sayang-sayangan dengan princess-nya.
Dia menggenggam tangan Anye erat seraya menatapnya lekat, meminta tanggapan sang istri akan keputusannya.
Bagas serius dengan ucapannya. Dia menyayangi Seruni, meski diakuinya memang tidak sebanyak rasa sayangnya pada Dipta ataupun princess-nya.
"Kan ada Mbok Siem." Gumam Anye agak sedikit pusing dengan isi pikirannya yang tiba-tiba menjadi semrawut.
"Mbok Siem sudah tua. Kalau beliau pergi, gimana anak itu. Mereka tidak punya sanak famili yang lain." Ujar Bagas yang menambah kekusutan di kepala Anye.
***
Pukul 09.00 di kediaman Prawirohardjo.
Sebuah mobil sport merah berhenti tepat di depan teras rumah setelah diizinkan masuk oleh penjaga keamanan depan.Samudra menatap rumah di depannya dengan binar mata yang redup. Dulu sekali, dia selalu berharap bisa menginjakan kaki ke tempat ini. Dan sekarang, harapannya menjadi nyata. Tapi bukan seperti ini yang ia inginkan.
Samudra mencoba menata suasana hatinya sebelum membunyikan bel.
Tuut tuut tuut.
Tak lama, pintu pun terbuka. "Selamat pagi. Cari siapa, Mas?"
Samudra terdiam menatap wanita renta yang dia tau sebagai orang yang melahirkan Elina.
"Selamat pagi. Saya mau cari Pak Bagas, apakah beliau ada di rumah?" Ujar Samudra agak gugup.
"Ada, Mas. Silahkan duduk, mbok panggilin dulu Mas Bagas-nya." Jawab Mbok Siem tanpa sedikitpun menaruh curiga.
Mbok Siem tidak mengenal Samudra, Elina tidak pernah mengatakan satu patah katapun tentang pria yang berstatus sebagai ayah Seruni itu.
"Iya, terima kasih." Ucap Samudra kikuk.
"Siapa, Mbok?" Tanya Nyonya Prawirohardjo saat Mbok Siem melewati ruang keluarga.
"Ada tamu, nyariin Mas Bagas." Jawab Mbok Siem sopan.
"Dimana mas-mu?" Tanya Nyonya Prawirohardjo pada Arunika yang tengah rebahan manja di sofa sebelahnya.
Arunika sebenarnya masih tinggal bersama keluarga, hanya saja jika di rumah sedang tidak ada orang atau dia ingin berhibernasi tanpa gangguan, apartemen lah yang menjadi pilihannya.
"Masih dikekepin sama siluman ularnya, Bun." Jawab Arunika ngaco.
"Kamu tuh ngomong yang jelas. Siluman ular apa? Udah sana cariin." Sewot Nyonya Prawirohardjo pada bungsunya yang jago banget bikin orang senewen persis sang mantu tercintah.
Mirip banget kelakuannya.
"Kan ada Mbok Siem, Bun." Elak Arunika tak sudi jadi tumbal.
Demi apapun, dia masih dua puluh. Pacaran, gak pernah. Nikah apalagi. Bagaimana jika dia melihat dan mendengar sesuatu yang tidak seharusnya.
Lagipula, memangnya apalagi yang bisa terjadi kalau husband dan wife belum keluar kamar di jam segini, pasti gak jauh-jauh dari itu jawabannya.
Tolong jangan nodai otak polos si cantik ini, cukup burung gereja tempo hari yang membuat dirinya panas dingin semalaman.
"Ngapain malah ngelamun disini. Cepet, cariin mas kamu. Mbok Siem udah tua, kasian kalau harus naik turun tangga." Omel kanjeng ratu yang mau tidak mau wajib dilaksanakan.
"Iya, iya." Gumam Arunika sambil berlalu dengan sangat tidak ikhlas.
Bersambung ...
#staysafe
#stayhealthy
#saynotoplagiarism
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...