Suasana aneh begitu terasa di kediaman Prawirohardjo siang itu. Senang dan sedih bersatu padu di waktu yang bersamaan.
Senang karena ini merupakan kunjungan pertama Dipta ke rumah kakek dan neneknya, namun hal ini dibarengi dengan kesedihan yang melatar belakangi kehadiran Dipta di tempat itu.
Bisik-bisik gosip dari bibir Bude Sulastri masih bisa terdengar, tak henti mengoceh dari semenjak tiba.
"Seriusan itu anaknya Bagas? Sama Anyelir?" Bisik Bude Sulastri pada suaminya dengan tatapan mata yang tidak lepas dari Dipta yang tengah makan ditemani oleh Nyonya Prawirohardjo dan Arunika.
Pakde Sujarwo terlalu lelah menanggapi ocehan istrinya yang sangat tidak berfaedah dan penuh gosip itu, sehingga lebih memilih untuk pura-pura tidak mendengar.
Kesal karena merasa tidak ditanggapi, Bude Sulastri pun beralih pada Arshilla, putrinya yang tengah duduk di sebelah lain dirinya.
"Si Anyelir itu dari awal datang ke keluarga kita, bisanya bikin rusuh aja. Udah minggat, balik lagi bawa anak. Nah sekarang, malah minggat lagi. Maunya apa sih itu orang." Cerocos Bude Sulastri yang juga tidak ditanggapi oleh Arshilla.
Demi apapun, Arshilla begitu jengah dengan sikap mamihnya yang seperti ini.
Kalau bukan karena ditelpon Arunika untuk bergosip mengenai keluarga kecil kakak sepupunya ditambah rasa penasaran akan sosok ponakan yang baru dia ketahui, rasanya malas sekali jika harus pulang dan mendengar ocehan gak jelas sang mamih.
Bude Sulastri melirik suami dan anaknya dengan cemberut. Kenapa tidak ada satu pun anggota keluarganya yang bisa diajak bergosip. Membosankan.
"Sudah selesai makannya, Sayang?" Tanya Bagas menghampiri Dipta, lalu mengelus kepala putranya pelan.
"Sudah, Papa." Jawab Dipta menampilkan senyuman manisnya.
Dipta itu tipikal anak yang calm dan pemalu, sangat manis sehingga gampang membuat orang-orang disekelilingnya meleleh.
"Pintarnya anak papa." Puji Bagas yang malah menambah rona merah di kedua pipi Dipta.
"Pah, mama kapan pulang? Dipta kangen." Tanya Dipta berbisik pada Bagas.
Bagas menghela nafas berat saat mendengar pertanyaan Dipta. Istrinya itu masih belum berubah, jago sekali mempermainkan hidupnya.
Berusaha tenang, Bagas balas memeluk Dipta erat. "Besok pagi kita ke tempat mama."
Ya, hanya Dipta harapannya. Senjata ampuh untuk meluluhkan keras kepala istri cantiknya.
***
Di tempat lain, tiga sosok mencurigakan dengan pakaian tertutup serba hitam tengah mengintai keadaan sekitar salah satu klinik bersalin kelas atas di ibu kota.
"Aman, Mbak. Ayo." Ucap Sasti pelan dengan nafas kepayahan akibat cadar yang digunakannya.Demi apapun, ini panas banget. Sasti hampir kehabisan nafas akibat memakai cadar lengkap beserta gamis khas wanita Arab.
"PELAN DONG, ANYE." Teriak Yulia saat melihat Anye dan Sasti berlari memasuki gedung klinik.
Mendengar ucapan Yulia, Anye reflek berhenti. Menoleh pada Yulia, lalu melempar handbag mahal yang dibawanya.
Percuma dong, Anye berdandan ala istri habib begini kalau akhirnya ketauan orang cuma karena mulut lemesnya si Yulia.
"Selamat, Bu Anyelir. Ibu positif hamil, usia kandungannya sudah masuk minggu ke-7. Banyakin istirahat dan jangan lupa minum susu dan vitamin." Ucap seorang dokter wanita paruh baya itu dengan bijak.
Meski terkejut mendapati artis yang sinetronnya sering ditonton sang ibu menjadi pasiennya dengan diagnosis kehamilan, tapi beliau berusaha untuk tetap tenang dan menjaga privasi pasiennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...