Bagas mengerjapkan matanya perlahan, sebuah senyuman terbit di bibirnya yang biasa terkatup rapat kala netranya jatuh pada dua sosok paling berharga di hidupnya.
Bunga Anyelir Danuarta dan Dipta Raditya Prawirohardjo, istri dan anaknya.
Kening Bagas berkerut saat melirik jam di dinding kamar. Rasanya dia sudah tertidur begitu lama, namun jarum jam masih juga menunjukan pukul 02.40 dini hari.
Masih sangat malam ternyata. Bagas terlalu malas jika harus mulai beraktifitas sepagi ini, terlebih di waktu liburan dan tidur lagi pun terasa sulit.
Jadi, yang bisa Bagas lakukan adalah berlama-lama menatap dua orang tersayangnya meski hanya dengan mengandalkan rembesan cahaya lampu dari luar.
Dipta merupakan keajaiban di hidup Bagas.
Sedari kecil, Bagas bukanlan tipe orang yang mudah dekat dengan orang lain apalagi yang berjenis kelamin perempuan.
Meski sangat pendiam dan dingin, Bagas masih sangat mampu menarik hati perempuan-perempuan di sekitarnya dengan parasnya yang memukau.Tidak terhitung berapa banyak perempuan yang ingin dan coba mendekatinya. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil membuatnya merasa tertarik.
Bagas hanya memiliki satu orang teman, yaitu Elina, anak semata wayang kepala ART di rumahnya.
Elina yang pintar dan baik hati, membuat Bagas nyaman berteman dengannya dibandingkan dengan anak-anak orang kaya yang manja dan tidak berotak.
Sebagai anak sulung dan lelaki satu-satunya, Bagas sudah memiliki tanggung jawab yang besar bahkan sedari dia baru saja dilahirkan.
Sedari kecil, Bagas telah mendapatkan pendidikan yang ketat. Semua itu dimaksudkan agar dia siap memenuhi tanggung jawabnya sebagai penerus tahta keluarga Prawirohardjo saat waktunya tiba nanti.
Dibesarkan sebagai ahli waris keluarga besar, hidup Bagas begitu monoton. Hanya ada hitam, putih, dan abu-abu.
Waktunya dia habiskan untuk belajar, belajar, dan belajar. Tidak ada yang lain.
Tipe ideal?
Jatuh cinta?
Pacaran?
Menikah?
Dan anak?
Tidak pernah sekalipun dia memikirkan hal-hal tersebut. Apalagi memiliki anak, rasanya sangat jauh dari bayangan.
Dipta. Dipta-nya. Yang hadir tanpa rencana dan tanpa pemberitahuan.
Perlahan, Bagas menarik Dipta ke pelukannya.
Wajah rupawan Dipta benar-benar paduan seimbang antara dirinya dan Anye.
Sedang kulitnya ...Bagas selalu geli jika melihat warna kulit Dipta. Agak jauh berbeda dari dirinya dan sang istri, tentu karena terlalu sering main di bawah terik matahari langsung ketika masih tinggal kampung.
Ambu Nina bilang jika Dipta sangat suka bermain bola dan berenang, tidak peduli panas ataupun hujan. Putranya ini tidak betah di dalam rumah kata Ambu Nina.
"Ngapain cengar-cengir sendiri begitu, masih gelap lagi. Salah-salah dikira kesurupan nanti." Ceplos Anye menatap heran penuh ejekan pada suaminya.
"Kamu cantik." Jawab Bagas yang dihadiahi seringaian menyebalkan khas Anye.
"Kamu paling jago ngehancurin momen manis kayak gini." Ucap Bagas sebelum memindahkan Dipta ke bagian pinggir tempat tidur yang sebelumnya dia tempati.
Anye memutar bola matanya jengah melihat kelakuan si akang suami yang begitu tega, gimana coba kalau Dipta sampe jatuh.
Tidak peduli dengan tatapan sinis istrinya, Bagas melanjutkan aksinya berjalan menuju sisi tempat Anye tidur. Menggeser si cantik ke bagian tengah tempat tidur, untuk kemudian dia berbaring di tempat Anye.
"Mau ngapain? Jangan ngadi-ngadi ya, ada Dipta disini." Seru Anye kaget saat Bagas menariknya ke pelukan lelaki itu.
Bagas terkekeh melihat tingkah panik sang istri. Dengan jahil, dia sengaja menggesek-gesekkan tubuh mereka yang berhimpitan tanpa jarak sedikitpun.
Anye yang menyadari jika dirinya tengah menjadi korban pelecehan pun berjengit, bertekad menuntut balas pada si tersangka.
Sadar dengan tatapan sengit Anye, Bagas pun menyudahi aksi jahilnya. Dikecupnya pipi Anye mesra. "Canda, Sayang. Aku bukan binatang buas yang biasa menerkam mangsanya tanpa melihat sikon."
"Setelah dipikir-pikir, kayaknya kita gak pernah ngobrol santai begini. Ada yang mau kamu ceritkan sama aku? Aku lebih dari bersedia untuk mendengarkan semua cerita, keluh, dan kesah kamu." Ucap Bagas memancing kejujuran Anye perihal Dipta.
Bagas bisa merasakan bahea tubuh Anye menegang sesaat setelah mendengar ucapannya. Tak lama, Anye kembali tenang dan kemudian menggelengkan kepalanya tanda ia tidak memiliki apapun untuk dibicarakan padanya.
Meski agak kecewa dengan sikap Anye yang belum juga mau terbuka padanya, Bagas coba untuk lebih bersabar.
Mungkin Anye masih belum siap.
Atau mungkin Anye belum percaya padanya.Sesulit itukah mempercayainya?
Anye semakin membenamkan kepalanya pada dada bidang sang suami, sedang ibu jarinya perlahan mengelus otot di lengan atas Bagas."Apa kamu sadar jika kita berdua seperti orang buta yang hanya bisa meraba-raba. Banyak hal yang ada di hati aku dan ada banyak pula yang ingin aku tanyakan sama kamu, aku yakin kamu pun merasakan hal yang sama." Gumam Bagas yang malah membuat Anye terisak.
Mendengar tangis istrinya, Bagas pun mengecup kening Anye lama. "Aku bilang begitu bukan supaya kamu nangis."
"Kamu jahat." Gumam Anye di sela isakannya.
"Iya, aku tau. Aku jahat. Maaf, maafin aku. Aku salah." Ujar Bagas dengan rasa bersalah dan penyesalan yang teramat dalam.
Kenapa? Kenapa dirinya tega menyakiti Anye.
Andai ...
Bagas tau jika kata andai adalah kata paling bodoh di dunia.
Tapi hanya itu yang bisa Bagas ucapkan untuk menggambarkan perasaannya.
Andai dia tidak meninggalkan Anye malam itu.
Andai dia mau membuang egonya yang setinggi langit itu.
Semua pasti berbeda, baik dirinya ataupun Anye tidak akan terluka.
Lebih lagi Dipta. Dialah korban sesungguhnya dari masalah mereka.
"Aku sayang kamu."
Anye menggeleng saat mendengar ucapan Bagas, tidak percaya.
Bagas tersentak melihat reaksi Anye.
"Kamu masih cinta sama aku, kan?" Tanya Bagas gugup, sangat gugup.
Anye tidak menjawab, dan bungkamnya itu mampu membuat Bagas kesulitan bernafas.
"Kenapa?" Gumam Anye pelan.
"Maksud kamu?" Tanya Bagas tak mengerti.
"Kenapa kamu datang?" Lirih Anye semakin erat memeluk Bagas.
"Benar, kenapa aku datang." Gumam Bagas di dalam hati.
Bersambung ...
#staysafe
#stayhealthy
#saynotoplagiarism
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...