Flashback on.
Pada jam istirahat makan siang, Bagas bergegas menuju rumah orang tua nya. Ada hal penting seputar urusan kantor yang harus segera ia bahas bersama dengan sang ayah."Siang, Mbok." Sapa Bagas pada Mbok Siem yang membukakan pintu untuknya.
"Siang juga, Mas. Sendirian aja? Gimana kabar Seruni dan yang lainnya?" Tanya Mbok Siem pada Bagas.
"Iya, Mbok. Sendirian, mau ketemu ayah. Mbok gak usah khawatir, Seruni dan Anye sehat kok. Masuk dulu ya, Mbok." Ujar Bagas pada wanita renta yang juga telah berjasa membesarkannya.
"Silahkan, Mas. Syukur kalau pada sehat, mau dibikinin minum apa?" Lanjut Mbok Siem perhatian.
"Wah, si mbok mentang-mentang Bagas sudah tidak tinggal disini jadi diperlakukan seperti tamu. Gak usah deh, kalau haus atau laper biar nanti ambil sendiri." Jawab Bagas dengan candaan.
"Bisa aja. Yowes, Mbok mau ke belakang kalau begitu." Pamit Mbok Siem pada Bagas.
"Ayah."
Bagas membuka pintu ruang kerja ayahnya pelan setelah mengetuk pintu beberapa kali tanpa tanggapan, maklum bos besar itu memiliki kebiasaan tidur ditemani iringan lagu lawas dari piringan hitam koleksinya.
Setelah memindai seluruh ruangan, Bagas tidak juga menemukan sang ayah.
"Mungkin di kamar." Pikir Bagas.
Ketika akan berlalu, mata Bagas tidak sengaja beralih pada laci kanan meja kerja ayahnya yang tidak tertutup dengan benar.
Khawatir terjadi pencurian, Bagas pun mendekat untuk mengecek isi di dalamnya.
Bagas menyernyitkan keningnya dalam saat ia melihat isi laci tersebut.
"Dipta?" Gumam Bagas bingung saat ia mendapati banyak sekali foto sang ayah dan Dipta dengan latar pedesaan.
Setau Bagas, Dipta adalah cucu Ambu Nina, ART yang dibawa Anye dari kampung. Dia tidak pernah membahas tentang Dipta dan Ambu Nina pada keluarganya, Anye juga tidak. Seruni? Mungkin saja, tapi...
Bagaimana bisa ayahnya mengenal Dipta?
Dari foto-foto itu terlihat jika mereka berdua sangat dekat."Kata Mbok Siem, kamu cari ayah." Ujar Tuan Prawirohardjo membuyarkan semua lamunan Bagas.
Melihat Bagas yang sedikit linglung, Tuan Prawirohardjo pun menghampiri sang anak.
Dia cukup terkejut mendapati rahasianya berada di tangan Bagas.
Tau jika tidak ada rahasia yang bisa disimpan selamanya, Tuan Prawirohardjo pun pasrah saja.
"Mungkin ini waktu yang tepat." Benak tuan Prawirohardjo meyakinkan dirinya.
"Ada yang mau kamu tanyakan?"
"Dipta?"
"Iya, Pradipta Raditya Prawirohardjo."
Mendengar jawaban sang ayah, Bagas pun menahan nafas.
"Prawirohardjo?"
"Kamu tidak salah dengar."
"Anak haram ayah? Dan Anye tau?"
"Iya, Anye tau. Kenapa?"
Jawaban ambigu Tuan Prawirohardjo sukses memancing amarah Bagas.
"Ayah tanya kenapa? Gimana sama bunda? Gimana sama Anye kalau sampai bunda tau Anye sudah bantu merahasiakan kesalahan ayah?"
"Kamu khawatir sama bundamu atau istrimu?"
"AYAH."
Setelah dirasa cukup mempermainkan emosi anaknya, Tuan Prawirohardjo melangkah ke arah rak buku di belakang meja kerjanya. Didorongnya rak tersebut, lalu nampaklah sebuah brangkas ukuran sedang. Ia buka brangkas tersebut, mengambil map coklat ukurab besar lalu menyerahkannya pada Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...