Bab 31

13.4K 677 2
                                    

"Wah ini dia calon dede bayinya. Insyaallah sehat dan tumbuh dengan baik." Jelas dokter sama seperti saat pemeriksaan sebelumnya.

Jangan tanya bagaimana Anye bisa sampai disana tanpa khawatir ketahuan, jawabannya jelas karena punya suami kaya raya dan berkuasa.

Sebenarnya dokter Indah, dokter kandungan paruh baya yang memeriksa Anye, cukup takjub dengan apa yang diketahuinya.

Beberapa hari yang lalu aktris cantik yang tengah naik daun dengan status single tanpa pacar apalagi suami datang untuk pemeriksaan kandungan.

Hari ini si aktris datang lagi dengan pria yang diketahuinya baru menyandang status duda sekitar tiga bulan lalu. Ditambah bawa dua anak lagi, jiwa perempuan mana yang tidak kepo.

Meski berusaha profesional, tapi rasa penasaran itu masih tetap ada.

"Princess ya, dok?" Tanya Bagas percaya diri.

Dokter Indah tertawa melihat antusias Bagas, pun saat melihat Dipta dan Seruni yang menatap takjub pada monitor.

"Belum kelihatan, Pak. Masih seukuran biji kacang merah, harus nunggu beberapa minggu lagi kalau mau tu jenis kelamin bayinya." Jelas dokter Indah ramah.

"Baik, dok. Maaf, saya nggk sabar. Terima kasih." Ujar Bagas dengan senyum lebarnya.

Malu-maluin, batin Anye melihat kelakuan bapak anak-anaknya.

Bagas tidak melepaskan tangan Anye dari genggamannya sedikitpun, membuat Anye risih terlebih saat melihat Dipta dan Seruni yang mengekor di belakang. Apa kata orang nanti.

"Lepas, ih." Ringis Anye risih.

"Kamu ... ." Ucapan Bagas terhenti saat matanya bersitatap dengan orang yang dikenalnya.

Merasa tidak diindahkan, Anye menoleh kearah yang menjadi fokus Bagas. Tubuhnya mematung, bibirnya terasa kelu.

Orang yang ditatap memasang raut tak acuh, tanpa ada niat bicara ataupun sekedar menyapa. Tak lama, dia berbalik dan pergi begitu saja.

"Sayang."

Usapan lembut Bagas di bahunya menyadarkan Anye.

Ya, yang barusan mereka lihat barusan adalah mama Anye.

Bagas tidak tau apa yang terjadi, tapi menurutnya sang ibu mertua sudah sangat berlebihan.

Rasanya tidak etis mengabaikan anak yang pernah dia lahirkan dan rawat sepenuh hati begitu saja.

Anye tidak tau apa yang dia rasakan saat ini, tapi yang pasti hatinya sakit. Rasanya sesak, tapi ia tidak tau penyebabnya.

Anye memejamkan matanya.

"Ya, sudah cukup. Mungkin memang ini akhirnya, seharusnya." Ujar Anye memberikan sugesti pada dirinya sendiri di dalam hati.

Tak apa, kan. Anye masih punya Dipta. Ada calon anaknya juga. Dan Bagas. Mereka miliknya, kan?

Saat membuka mata, sorot mata yang memancarkan kesakitan itu sudah hilang, seolah tak pernah ada.

"Kids, ayo pulang." Seru Anye dengan nadanya yang biasa.

Ingin sekali Bagas bertanya, "Kamu baik-baik saja?"

Tapi dia tau jika pertanyaan itu hanya akan menambah luka di hati Anye.

Tidak peduli seberapa bagus akting seorang Bunga Anyelir Danuarta, itu semua tidak berlaku jika menyangkut isi hatinya yang paling dalam.

Dan Bagas masih bisa melihat gurat kesedihan itu meski sekuat tenaga berusaha disembunyikan oleh si empunya.

Dia bisa saja menawarkan diri sebagai mediator antara Anye dan mamanya, tapi itu hanya akan memancing konflik yang tidak perlu diantara mereka.

Biarlah, mungkin begini lebih baik.

***

"Kamu gak ada kerjaan diluar?" Tanya Bagas pada Anye yang mendadak lebih kalem dari biasanya.

Semenjak pertemuan tidak sengaja kemaren, istrinya mulai berubah. Lebih tenang, namun terkesan seperti ketenangan sebelum badai. Dan Bagas takut.

Saat ini mereka tengah bersiap untuk sarapan, dengan Anye yang bertindak sebagai koki.

Dapur dan ruang makan yang berada di ruangan yang sama membuat penghuninya bebas bercengkrama meski tengah berkutat dengan aktivitas masing-masing.

"Udah bosen jadi artis. Mending jadi sosialita aja, kerjanya ongkang-ongkang kaki di rumah tapi bisa pamer sana-sini." Jawaban khas Anye yang membuat Bagas sedikit lega, setidaknya istrinya itu mulai kembali seperti biasanya.

Anye yang jutek dan judes memang menyebalkan, tapi itu lebih baik daripada Anyelir yang pendiam.

"Aku anter anak-anak sambil jalan ke kantor, pulangnya mereka dijemput Ayah, mau diajakin jalan-jalan. Kalau kamu bosen di rumah, boleh kok keluar atau suruh menejer dan asisten kamu main kesini. Aku usahakan pulang awal." Ujar Bagas sambil mengelus punggung tangan Anye menggunakan ibu jarinya.

"Iya, tau." Ketus Anye yang memancing senyuman Bagas.

"Kids, udah selesai sarapannya? Yuk, berangkat. Salim dulu sama mama." Ujar Bagas pada Dipta dan Seruni yang sedari tadi hanya menjadi latar belakang.

"Mama, Dipta sekolah dulu." Salim Dipta pada Anye yang dibalas kecupan dan pelukan.

Melihat Dipta yang tersenyum manis dan malu, Anye pun mengeratkan pelukannya seraya menggesekan wajahnya di area leher Dipta hingga membuat anaknya itu tertawa kegelian.

Bagas tersenyum melihat interaksi menggemaskan istri dan anaknya.

"Mama, salim." Ujar Seruni memaksa mencium tangan Anye.

"Kok, aku gak dapet peluk dan cium kayak Dipta?" Tanya Seruni dengan wajah yang dibuat imut.

"Idih kepedean." Sinis Anye yang membuat Seruni manyun.

"Yaudah, biar Seruni aja yang cium mama." Ujar Seruni sebelum mengecup kilat bibir Anye.

Anye membelalakan mata tak percaya, dan Seruni memanfaatkan hal itu untuk kabur sembari menarik tangan Dipta ke luar rumah. Memilih menunggu papanya di teras.

"Eh, bocah ... . Apa senyum-senyum?" Amukan Anye beralih target karena Seruni sudah kabur duluan.

"Siapa yang senyum sih. Sini, biar aku hapusin jejaknya Seruni." Ujar Bagas sebelum menghapus jejak Seruni. Lama, bikin kebas aja.

Modus banget sih tuh bapak. Makin tua, makin menjadi.

Bukannya senang, Anye malah kesal. "Kenapa hapusnya harus pake tempel bibir? Hapus jejak Seruni atau bayangin ciuman gak langsung sama emaknya si Seruni?"

Bagas menghela nafas mendengar tuduhan aneh istrinya itu, inget Elina juga enggak.

"Mau anter aku ziarah ke tempat Elina?" Tawar Bagas pada Anye yang dihadiahi bantingan pintu.

Gak waras kali ya tuh orang. Ogah banget Anye kalau harus ngunjungin si madu. Lagian mau apa? Kasih do'a ? Anye gak mau, hati Anye tidak selapang itu. Atau ngajak duel? Yang ini sih jelas Anye kepengen banget, tapi sayangnya gak berani.

Kadang Anye mikir apa ini karma ya? Anye selalu kegenitan pengen jadi madunya Mba Fika, faktanya malah Anye sendiri yang punya madu.

Madu yang ini gak ada manisnya sama sekali, yang ada pahit dan sepet. Bukannya bikin sehat, malah membuat lemah, letih, lelah, lesu, lunglai, lungse seluruh badan, hati, pikiran, jiwa, dan raga.

Tapi ini gak adil, Anye kan cuma bercanda. Lagian, gak ada niat kok buat jadi istri mudanya Pak Andri. Cakep dan sexy begini masa jadi simpenan, gak elit sama sekali.

Bersambung ...

#staysafe
#stayhealthy
#saynotoplagiarism

Anyelir Tak Pernah LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang