"ASTAGA." Erang Bagas frustasi akibat suara musik dangdut yang diputar tetangga, entah sebelah mana, mengalun keras dan tak kunjung usai.
"Aduh, Sayang. Apaan sih?" Ringis Bagas saat mendapati satu buah bantal melayang ke arahnya.
"Kamu tuh yang apaan. Teriak-teriak jam segini, mau dikira gila?" Balas Anye yang merasa kaget akan ulah sang suami.
"Mereka tuh yang gila. Gak bisa lihat jam apa, udah malem gini masih aja setel musik keras-keras." Keluh Bagas yang tidak habis pikir dengan kelakuan warga disana.
Maklum, selera dan gaya hidup orang gedongan beda dengan rakyat jelata. Dan sebagai bagian dari kaum atas, Bagas tentu tidak pernah berada di situasi seperti ini. Beda kelas, beda level.
"Keganggu? Yaudah, sana. PULANG." Ujar Anye tanpa tendeng aling.
"Bukannya gitu. Kamu kan lagi hamil, butuh istirahat. Kalau musiknya gak berhenti, gimana kamu bisa tidur nyenyak. Bener kan, Princess." Jawab Bagas ngeles, mengatasnamakan princess-nya yang belum lahir sembari memeluk perut sang istri.
Ngomong-ngomong soal princess, Anye selalu ngeri jika mendengar sebutan princess yang diberikan Bagas pada calon anak kedua mereka.
Bukannya apa, yang ada dipikiran Anye saat mendengar kata princess adalah Princess Fiona. Tau Princess Fiona, kan? Itu loh, princess yang cantiknya siang doang, kalau abis maghrib berubah jadi makhluk apa itu yang ijo-ijo gendut dan suka makan tikus panggang.
Amit-amit nya lebih jauh dari pada nyampe ke pluto.
"Besok ayah sama bunda mau kesini." Ucap Bagas ringan tanpa dosa yang tentu memancing tatapan ngeri Anye.
"Mau ngapain?"
Bukannya Anye tidak suka, hanya saja membayangkan kanjeng ratu melangkah anggun dengan pakaian dan konde estetiknya di kawasan padat penduduk sangatlah menyeramkan. Auto dijulidin, pastinya.
"Ya jengukin cucu lah."
"Kan Dipta baru kesini tadi pagi."
"Cucu yang satunya lagi."
"Belum brojol, Kang."
"Kalau gitu mau jengukin mantunya."
"Aku gak sakit."
Bagas menatap Anye tak habis pikir.
"ANYELIR."
"Iya, iya. Gak usah berisik nanti Dipta kebangun."
***
"Bunda gak habis pikir, ayah nemu mantu dimana sih. Kelakuannya kok ya selalu bikin orang puyeng." Dumel kanjeng ratu yang dihadiahi tawa sang suami.
"Ndak usah ketawa. Sekarang ayah bantu pilih baju yang cocok bunda pake untuk mengunjungi mantu ayah yang lagi kumat." Lanjut Nyonya Prawirohardjo yang memang sedang kebingungan mencari baju agar terlihat seperti dari kalangan biasa.
Orang kaya sih, jadi gak punya baju murah.
"Mantu bunda juga." Ujar Tuan Prawirohardjo yang berhasil membuat sang istri merengut.
"Ini aja, Bun."
Tuan Prawirohardjo menyerahkan sebuah abaya yang sudah lama tidak dikenakan istrinya.
"Yakin, Yah?"
"Iya, coba aja. Pasti cocok. Bunda masih secantik dan sesexy dulu kok." Puji Tuan Prawirohardjo yang berhasil membuat istrinya salah tingkah.
"Kamu gak ikut?" Tanya Tuan Prawirohardjo pada anak gadisnya yang tengah bersantai di depan televisi.
"Ih, ogah. Di daerah padat penduduk kan kumuh, bau, panas. Iyuh banget pokoknya. Gak level." Jawab Arunika menggeleng jijik membayangkan dirinya berada di tempat seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...