Anye dan Bagas menyernyitkan keningnya bingung saat lingkungan padat penduduk tempat mereka tinggal beberapa hari ini lebih ramai dari biasanya.
Para warga dan wartawan berbondong-bondong lari menuju satu tempat.
"Apa ada kasus pembunuhan?" Tebak batin Anye teringat banyaknya kasus pembunuhan yang dia saksikan di TV dengan latar tempat kossan atau rumah petak seperti kebanyakan hunian di sekitar sini.
"Sayang, kok kayaknya lari ke arah rumah kita deh." Sahut Bagas yang melihat huru-hara di depan rumahnya dengan jarak sekitar 20 meter dari tempatnya berdiri sekarang.
Dia meraih tangan Anye untuk menghampiri sumber keributan.
"Beneran, Bu?"
"Kayaknya bener deh. Kalau nggak, mana mungkin wartawan sampe ngumpul begitu."
"Bisa-bisanya kita nggak nyadar ada artis tinggal disini."
"Halah, artis apa? Pelakor itu namanya."
"Tapi kan yang lakinya duda, jadi harusnya gak masalah dong."
"Duda juga baru berapa bulan, nah dia anaknya juga udah gede. Pasti dari lama tuh jadi selingkuhannya, mana sekarang lagi hamil lagi katanya."
Entah kenapa Bagas memiliki firasat buruk tentang apa yang terjadi, dia eratkan genggamannya pada tangan Anye.
"Nggak nyangka ya, Bu. Saya kira Anyelir itu baik, eh malah begitu."
"Iya, mau-mau aja jadi selingkuhan."
"Bener, Bu. Kelihatan, di TV juga suka kegenitan, kirain buat seru-seruan aja ternyata emang beneran gatel."
"Jangan-jangan yang sama Samudra juga bener."
"Wah, pantes aja istri Samudra suka nyindir-nyindir. Parah ya, doyan kok sama laki orang."
"Padahal cantik, sexy, banyak duit lagi. Sayang banget, ya."
"Ya kalau dia nggak cantik sama sexy, mana mau juga tuh laki."
"Intinya sama aja, Bu. Sama-sama gatel."
Anye cukup beruntung karena orang-orang itu sibuk bergibah dengan sebelahnya tanpa menyadari kehadiran sang bahan gosip di belakang.
Apa tadi? Pelakor?
Anye menatap sinis pemandangan di depannya.
Dia alihkan pandangannya pada lelaki di sampingnya, ditatapnya mata yang tajam itu dengan nanar.
"Pelakor, ya?" Ujar Anye tersenyum getir.
Bagas tertegun melihat pemandangan itu.
"Sayang." Gumam Bagas lirih.
Anye tertawa sendu lalu melepaskan tangannya dari genggaman Bagas, berbalik pergi.
Anye membuka pintu rumah keluarga Prawirohardjo dengan kasar, tidak dia indahkan semua orang yang menatapnya bingung dan penuh tanya.
Mereka barangkali tidak mengerti kenapa Anye yang biasa bersikap baddas disertai sok-sok-an kini tampil dengan wajah sembab seperti habis menangis.
"Dipta, ayo pulang." Ajak Anye pada Dipta yang terdiam melihat penampilannya.
"Mama nangis?" Tanya Dipta menatap Anye dengan mata yang mulai memerah.
Hati Dipta sakit melihat mamanya seperti ini.
"Nggak. Ayo." Ujar Anye meraih tangan Dipta untuk dibawanya pergi.
"Sayang." Ucap Bagas yang hanya dilewati Anye tanpa lirikan apalagi kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir Tak Pernah Layu
General Fiction"Mama ... ." Suara seorang gadis kecil mengagetkanku saat membuka pintu. Apa dia panggil aku barusan? Mama? HELL, NO. Mama, Mama. Mama dari Hongkong gitu. Jangan harap aku bakal luluh seperti halnya wanita dalam novel, lalu berakhir menjadi ibu samb...