38. IA YANG DIRINDUKAN 🍓

23.5K 872 24
                                        


Happy reading 🍓🦕
.
.
.
♡Alvian Nero♡



Sebelum membaca cerita Alvian Nero, di harapkan untuk vote terlebih dahulu.🍓

***

Hari demi hari telah berlalu dengan perasaan yang hampa melanda. Hari ini tepat satu bulannya si bungsu berjuang di ruang ICU, kondisinya masih sama dengan hari-hari sebelumnya ‘kritis’. Difta, Jefan, Ezio, dan Devan selalu senantiasa menunggu mata kucing itu terbuka dan kembali mengukir kenangan yang sangat indah bersama Azegara Family.

Bryan dan Arlo dua minggu yang lalu sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP. Setelah dua pemuda itu melewati masa komanya, di ruang ICU. Hal yang harus mereka syukuri, Bryan dan Arlo sudah kembali ke pelukan Azegara Family. Tinggal menunggu si bungsu untuk membuka matanya kembali.

“Bang,” panggil Bryan lirih. Arlo yang tengah duduk di atas bed, menoleh ke arah sumber suara dan mengangkat sebelah alisnya.

“Kapan kita bertemu Adek?!” Bryan menatap serius wajah Arlo. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, ia pun tidak tahu. Rasanya belum siap melihat adik kesayangan itu yang harus kembali ke ruang ICU.

“Jika ingin melihat Adek, silahkan. Abang belum siap.” Arlo memalingkan wajah ke arah pintu, tak ingin melihat wajah lelah Bryan yang selalu mengajaknya ke ruang Alvian dua minggu belakangan ini.

“Mau sampai kapan, Bang? Hari ini satu bulan Adek di ruang ICU.” Bryan turun dari brankarnya dan melangkah ke depan tempat Arlo, tak lupa juga membawa tiang infusnya.

“Bryan juga belom siap, tapi seenggaknya kita bisa melihat Adek berjuang di pejamannya.” Arlo bergeming mendengar ucapan Bryan. karena sejujurnya ia juga ingin bertemu Alvian, bukan hanya mendengar kabarnya.

“Apa Abang lupa? Dulu kita berlima pernah berjanji, tetap bersama dalam kondisi apa pun,” lanjut Bryan.

Lelaki itu duduk di samping abangnya dan menatap langit biru yang diselimuti oleh awan putih, sinar mentari masih setia menerangi bumi, sebelum berganti dengan bulan dan bintang. “Manusia tidak akan pernah menang melawan takdir mubram, takdir yang tidak bisa ubah.”

Suasana hati dua pemuda itu kalut, memikirkan sesuatu buruk yang akan terjadi pada Alvian, ke depannya.
“Baiklah! Sekarang kita ke ruang Adek,” jawab Arlo turun dari brankar.

Apa yang barusan Bryan ucapkan ada benarnya. Sebelum kecelakaan itu terjadi, mereka berlima memang membuat janji akan selalu bersama dalam kondisi suka maupun duka.

Pintu ruang Arlo dan Bryan terbuka lebar, memperlihatkan pria yang mengenakan jas putih di ambang pintu dan stetoskop bergelantung di leher jenjangnya.

Lelaki itu perlahan mendekati mereka berdua. “Mau ke mana?” tanya Alex heran.

“Ke ruang Alvian, apa infusnya bisa dilepaskan sekarang?” Tanpa basa-basi lagi, Alex mengikuti permintaan Bryan. Ia melepaskan infus Arlo dan Bryan.

Toh, dua pemuda itu sudah baik-baik saja kondisinya sekarang.

“Terima kasih!” Mendengar perkataan itu, membuat Alex tersenyum simpul, mendengar kata ‘terima kasih’, dari Arlo. Katanya sederhana, tapi seakan susah untuk diucapkan.

ALVIAN NERO [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang