31. RUMUS KECEPATAN

564 59 14
                                    

POV NATALA
23.45

Aku menggenggam secangkir coklat hangat dan berjalan menuju tanah lapang yang tidak begitu jauh dari tempat istirahatku di lokasi pengungsian.

Aku duduk melipat kedua kakiku, memangku coklat hangat memandang bangunan rumah yang hancur akibat gempa tadi sore.

Aku merenung dengan dagu terangkat kecil menatap satu bintang yang berkedip pelan namun teratur.
Dalam diam, mataku meraba langit dengan penuh tanya dikepala.

Pikirku menerka kehidupan ini layaknya garis yang melingkari semesta dan entah mengapa dibalik banyaknya jalur lurus yang sejajar, netra polosku justru terpaku pada garis miring yang tak searus.
Terlalu condong namun tak dapat ku dorong.

Aku tidak tau pasti mengapa Tuhan kembali mempertemukan garis lintangku dan garis bujurmu yang sudah pasti takkan bisa menyatu, seolah Tuhan tidak meng-Aamiinkan segala usahaku yang susah payah melupakanmu.

"belum tidur kakak plastik?" tanya seseorang dengan suara lembutnya.

Aku menengok kebelakang dan melihat seorang lelaki tampan yang dulu pernah menjadi anak didikku sedang menunduk menatapku.

Mata tajam yang sama seperti beberapa tahun lalu, senyumnya yang manis, proporsi wajahnya yang tegaspun masih sama, hanya suaranya yang sedikit berbeda namun masih terdengar manis di pendengaranku.

Kepalaku menunduk perlahan mengikuti pergerakannya yang menekuk kedua lututnya untuk duduk disampingku.

"Juna kira kebiasaan begadangnya udah ilang." ucapnya seolah tak pernah lupa sedikit pun tentangku dan aku hanya diam, mencoba mencerna apa mau Tuhan di garis kehidupanku kali ini.

"1 tahun kakak menghilang dan 8 tahun Juna berproses agar bisa setara."
"mengingatkan Juna dengan rumus kecepatan yang pernah kakak ajarkan."
"dan 9 tahun jumlah keseluruhan Juna berjuang untuk sampai di titik temu kita hari ini." ucapnya menengok kearahku dan mata kita bertemu.

Ya, dia lelaki yang sama dengan remaja yang beberapa tahun lalu ku kenal.
Hanya fisik, tata bahasa dan sikapnya yang banyak berubah, selebihnya masih sama. Aku masih mengenalinya.

"apa kabar?" tanyanya dengan lembut namun terdengar sirat sedih.

"baik." jawabku sedikit canggung dan dia meraih coklat hangatku lalu meminumnya.

Aku ralat deskripsiku tentangnya, sikapnya tidak berubah, sedikitpun tidak berubah. Dia masih menyebalkan seperti 9 tahun lalu.

"merindukanku?" tanya nya lagi membuatku melotot dan dia terkekeh saat melihat ekspresi kagetku.
"sudah malam, ayo kembali ke tenda." ajaknya lalu berdiri membelakangiku dan aku ikut berdiri.

"ah iya..." ucapnya berbalik tubuh. "terimakasih untuk coklat hangatnya kakak plastik." lanjutnya meraih tanganku untuk mengembalikan coklat hangat yang tadi ia rampas.

"mari bertemu kembali setelah tugasku selesai." tuturnya mengacak rambutku lalu mulai melangkah pergi meninggalkanku yang masih mematung karna ulahnya.

Tanganku bergerak menyentuh kepalaku yang dia pegang, membuat jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya.

"bagaimana bisa lelaki yang baru memasuki fase dewasa mengacak rambut seorang pria dewasa sepertiku." batinku yang masih terdiam.

Aku menurunkan tanganku lalu menatapnya beberapa detik dan tanpa sadar kedua ujung bibirku tertarik tipis.
Aku terkekeh lalu melangkah menuju tenda untuk beristirahat.

•••
POV AUTHOR
Keesokan harinya

Pagi ini Darriel, Offroad dan Fourth mendapat bagian untuk mengedukasi anak-anak korban bencana agar tidak mengalami trauma berkepanjangan sedangkan Leo membantu dokter memeriksa para korban karna dia lulusan keperawatan dan Gema ikut bergabung dengan para tentara untuk kembali melakukan penyisiran.

Fourth dan Off sedang mengajak anak-anak bermain sedangkan Darriel duduk diatas rerumputan memangku seorang anak laki-laki berusia sekitar 6 tahun.

"kakak." panggil anak kecil itu dan Darriel sedikit memiringkan kepala mengintipnya dari samping.

"ada apa?" tanya Darriel lembut.

"om tentara itu terus melihat kesini." ucapnya polos sembari menunjuk ke kanan dan Darriel mengikuti arahan bocah manis itu.

Dari kejauhan netra keduanya bertemu dan Darriel memicing saat melihat ekspresi Arjuna dari kejauhan, dia yakin betul Arjuna sedang tersenyum ke arahnya.

"kakak kenal om tentara itu?" tanya bocah itu sembari mendongak menatap Darriel dari bawah dan Darriel mengangguk.

"apa aku bisa menjadi sepertinya?"

"tentu." sahut Darriel antusias menatap bocah lucu di pangkuannya.

"tapi aku tidak punya rumah, ibuku pasti akan kesulitan." Darriel tertegun mendengar ucapan anak itu, dia tidak menyangka bocah 6 tahun punya pemikiran lebih dewasa dari anak sebayanya.

"kamu sering berdoa?" tanya Darriel dan anak itu mengangguk.
"teruslah berbuat baik dan selalu berdoa, pasti Tuhan akan mengabulkannya." anak itu mengangguk antusias dan Darriel memeluknya karna merasa gemas.

••••

Arjuna sedang berdiri menunggu laporan anggota peletonnya, dia tidak bisa turun ke lapangan karna tangannya yang lecet.

Sebenarnya luka kecil itu bukan masalah besar bagi seorang letnan sepertinya tapi ucapan Darriel untuk tidak mengangkat benda berat yang membuatnya menahan diri.

Netra tajamnya menyisiri sekitar dan pandangannya berhenti saat melihat seorang lelaki tengah duduk di rerumputan memangku anak kecil.
Kedua ujung bibirnya tertarik tipis saat anak itu menunjuk kearahnya dam senyumnya semakin lebar saat mata mereka bertemu.

Arjuna terus menatap Darriel dari kejauhan. Jika dulu dia akan menunduk ataupun mengalihkan pandangan saat Darriel mulai menyadari tatapannya, kini dengan berani dia terus menatap lelaki cantik itu sembari tersenyum.

"pak." panggil seseorang dan Arjuna mengalihkan pandangan lalu mengangguk.

"perkenalkan saya Gema dan saya diminta warga untuk memanggil bapak." ucap Gema dan Arjuna segera melangkah menuju lokasi.

•••
16.00

"pulang duluan ya.. soalnya besok ada jam ngajar." pamit Darriel merapikan barang-barangnya.

"hati-hati el... jangan ngebut." ucap Leo dan Darriel mengangguk.

"gak pulang bareng pak tentara itu kak?" tanya Gema yang baru memasuki tenda membuat Darriel menoleh cepat.

"tentara siapa?"

"letnan muda itu." jelas Gema.

"ngawur aja." singkat Darriel kembali fokus ke barang-barangnya.

"ciyeee kak iel deket sama pak tentara itu?" goda Fourth.
"ini judulnya cintaku bersemi di lokasi bencana atau apa nih?" lanjut Fourth dan semua menahan tawa.

"apa lagi ini... jangan ngawur, ntar di tangkap baru tau rasa." ucap Darriel berdiri lalu menggendong ranselnya.

"beneran gak nunggu pak tentara?" goda Fourth lagi.

"apa sih... pulang dulu.." ucap Darriel salah tingkah lalu berjalan keluar tenda.

"tiati el..." ucap semua rekan Darriel, dia menengok kebelakang dan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya untuk pulang.












~°°~
TERIMAKASIH😍

JANGAN LUPA VOTE & KOMEN💛

SEE YOU NEXT CHAPTER🔥

ASYMMETRY [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang