11. Kemarahan Devan (2)

468 59 4
                                    

Banyak kata-kata kasar🤬

Jangan ditiru, ya, adik-adikku tercinta dan tersayang🥳

✨✨✨

Tiada hari tanpa tebar pesona, begitu berpisah dengan Azriel karena dipanggil pelatih voli. Kini, Devan sedang berada di lapangan basket sambil menebar senyum manis pada cewek-cewek Bluemoon. Bahkan, cowok gadungan itu melambai riang dengan senyum lebar.

Pertandingan basket akan dimulai 30 menit dari sekarang, dan Devan masih belum mengganti baju karena melihat situasi. Tidak mungkin dia ganti baju di ruang ganti cowok, sedangkan dirinya adalah cewek tulen.

"Zain, gue punya masalah." Devan memegang bahu Zain serius.

Zain memalingkan wajahnya. "Hah? Punya masalah apa lo? Cowok kesayangan lo kena pukul lagi?"

"Bukan," balas Devan menggeleng.

"Trus?" Zain menatap Devan dari atas ke bawah serius. "Cok! Lo belum ganti baju, buset! Kenapa belum ganti? Nggak tau di mana ruangannya? Sini gue anter, cepet!"

"Bukan, nyet! Kayaknya gue sakit perut, gue nggak main, ya?" Devan tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Mana bisa gitu! Astaga, woy tim! Kapten basket lo pada nggak mau main! Pukulin cepet!" titah Zain serius.

"Kuy, pukul!" sorak tim basket semangat.

Devan menatap tajam, di tangannya ada ketapel sebagai senjata untuk memukul mereka semua. Melihat apa yang ada di tangan kapten basket, mereka mundur perlahan dengan senyum cerah.

"Bercanda, Van."

Menghela napas, Devan menenteng tas berisi seragam basket, memilih mengganti baju ke toilet daripada ruang ganti cowok. Hal yang bisa Devan syukuri adalah adanya cermin di toilet cowok dan toiletnya yang bersih.

Devan menatap dirinya sendiri lewat kaca, baju atas basket dengan dalaman selengan, lalu celana basket dengan celana hitam selutut. Definisi orang yang ingin melindungi asetnya sendiri, apalagi Devan, kalau dia nekat tak memakai lapisan dalaman, bisa ketahuan kalau dirinya cewek tulen.

"Masih ada setahun lagi," gumam Devan merapikan rambutnya.

Setahun lagi dia akan lulus sebagai siswa SMA Starlight dan di saat itulah permainan menjadi cowok itu berakhir. Kalau disebutkan alasannya, tentu saja Devan sedikit tidak rela karena identitas ini, dia lebih rela kalau disuruh jadi cowok dengan identitas aslinya.

Brak!

Devan terkejut kala mendengar pintu dihantam keras, dengan cepat dia bersembunyi di salah satu bilik toilet dan menguncinya. Jujur saja, orang yang menghantam pintu itu mengganggu sekali.

Padahal dia ingin nostalgia kenapa dirinya menjadi cowok gadungan, mungkin nanti. Devan memutar bola mata malas, mengganggu saja.

"Brengsek! Cepat seret Azriel ke sini! Gara-gara dia, tim voli kita kalah!"

"Oke."

Penasaran siapa yang berbicara, Devan akhirnya berdiri di atas kloset, mengintip di sela-sela pembatas atas sambil menahan tubuhnya di dinding. Manik cokelat itu menyipit kala melihat Farhan bersama teman-temannya tengah berbicara sambil mengumpat.

"Nggak etis banget ghibah di toilet, gue baru tau cowok bisa ghibah." Devan bergumam amat pelan.

Devan terus mengintip, hingga seorang cowok didorong kasar sampai terjatuh di depan Farhan. Cowok itu meringis pelan, lalu mengangkat kepalanya menatap Farhan.

Sekilas, Azriel bertatapan dengan Devan yang memandangnya datar. Lalu mengalihkan pandangan pada Farhan karena rambutnya dijambak kuat.

"Liat ke mana lo, anjing! Gue di sini bangsat! Puas lo bikin tim kita kalah?! Nggak punya malu lo!" maki Farhan menjadi-jadi, bahkan tangannya melayang memukul wajah Azriel.

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang