Wah, dah 40 aja nih bab. Pening juga liatnya.
Mau sampai berapa bab nih, readers?✨✨✨
"Aku bukan pacarmu."
"Aku?" Zain menyerngitkan dahi begitu dalam saat mendengar ucapan Devan barusan.
"Maksud gue, sejak kapan gue jadi pacar lo? Bikin alibi yang bener dong, masa kita pacaran?" ucap Devan mengingat kejadian pasar malam beberapa hari yang lalu.
"Apa salahnya, sih? Dengan ucapan lo yang keceplosan tadi, secara nggak sadar lo ngakuin gue sebagai pacar lo," ungkap Zain dengan senyum jahil, dia mendekati Devan dan mengacak-acak rambutnya gemas.
"Kalian homo, ya?"
Baik Devan maupun Zain saling pandang, lalu menatap identitas anomali yang baru saja berbicara pada mereka. Cowok tinggi semampai yang selalu saja mengintili mereka berdua itu, menatap dengan ekspresi jijik.
"Kalian pacaran? Buset, Kapten sama wakilnya homo!" Rafly memeluk tubuhnya, merasa takut tertular.
Rafly berteriak sengsara kala Devan dan Zain memukul badannya dengan kuat. Enak saja keduanya dibilang homo, baik Devan dan Zain itu normal. Sangat normal malah jika orang lain tahu kenyataannya.
"Tapi, Van, kalo diliat-liat lo emang cantik kayak cewek, kayak PUSPITA gitu loh," ucap Rafly disela-sela lengan Zain.
"PUSPITA apaan?" tanya Devan bingung.
"PUSAT PERHATIAN PRIA! Huahahaha! Uhuk!"
Rafly tercekik saat Zain menguatkan lengannya, enak saja bilang Devan PUSPITA, cowok itu tidak rela sama sekali mendengarnya. Apa lagi cewek yang menyamar jadi cowok itu tengah menginap di rumahnya karena 1 dan 2 hal.
"Gue lebih suka diperhatiin cewek, sih," balas Devan acuh tak acuh, lalu kepalanya menoleh ke arah kanan, menyapa para cewek yang baru saja berjalan di sana.
"Playboy lo!"
Mengangkat bahu acuh tak acuh, Devan berdiri dari duduknya. Tempat DPR alias Di bawah Pohon Rindang itu menjadi tempat satu-satunya yang menjadi pusat Starlight, karena di sana sejuk dan banyak dilintasi siswa-siswi sekolah itu. Devan jadi leluasa menyapa ramah seluruh warganya.
"Mau ke mana?" tanya Zain penasaran.
"Ruang BK, mau godain kak Valin di situ," balas Devan mengedipkan matanya sebelah, bermaksud menggoda Zain.
Zain hanya terkekeh geli, sedangkan Rafly dibuat merinding karena interaksi tak wajar antara kedua cowok itu. Pamit sekilas, Devan langsung berjalan santai ke arah ruang BK. Sampainya di sana, dia membuka sepatu dan masuk setelah menyapa singkat.
"Pagi kak Valin!" sapa Devan dengan senyum manis.
"Sudah berapa kali saya bilang, panggil saya Ibu. Ini masih lingkungan sekolah Devan," balas Valin sambil menggelengkan kepalanya.
"Tapi, Kak, Kakak itu masih muda banget, aku tetap manggil Kakak," ungkap Devan tetap tak peduli.
Valin menghela napas singkat, lalu menyuruh Devan mendekat ke arahnya. Selain Zain di sekolah ini yang tahu identitas Devan, Valin juga salah satu yang tahu kebenaran itu. Guru-guru yang lain tidak tahu sama sekali, karena Arkan dan Devan menyembunyikannya begitu rapat.
"Gimana hari-harimu? Nggak ada yang jahat, kan?" tanya Valin sambil merapikan kerah baju Devan. "Kenapa, sih, suka banget berantakan. Kayak cowok preman aja kamu."
"Aman, penyamaranku terlalu sempurna untuk bisa diketahui orang lain. Lagian, pakaian kayak gini jadi keliatan macho gitu," balas Devan sambil menyugar rambutnya dengan ekspresi menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Boy
Teen FictionDevan Reliaz. Siapa bilang dia cowok? Dia adalah cewek tulen yang menyamar sebagai cowok di SMA Starlight, memiliki paras manis, tinggi, jago berkelahi, suka tebar pesona, bahkan sikapnya sudah persis seperti cowok pada umumnya. Tidak ada yang tahu...