35. Cap cip cup

214 30 31
                                    

Hampir selama 2 jam Devan dan Zain memantau di dekat pot bunga, namun mereka tetap di sana sambil minum kopi yang mereka pesan di lantai 1 area food & drink.

Seringkali pengunjung hotel menyapa dan bertanya kenapa mereka berada di sana, konyolnya Devan menjawab kalau saat ini mereka tengah bermain petak umpet.

Orang dewasa mana yang percaya dengan ucapan seperti itu? Tentu saja tidak ada, dan orang yang berlalu lalang hanya mengangguk saja tanpa berarti.

"Eh! Bokap lo jalan ke arah sini!" Zain menepuk bahu Devan sedikit panik.

Karena keadaannya keduanya tengah tidak fokus sesaat, mereka kecolongan. Tidak sadar kalau Papa Devan dan wanita itu berjalan ke arah mereka.

Zain dengan cepat menarik Devan dan mendorongnya ke dinding, kedua tangan cowok itu menumpu di sisi tubuh Devan, wajah Zain persis di depan Devan. Jika diperhatikan dari belakang, posisi mereka persis seperti orang tengah ciuman.

Melirik sekilas, Devan tersenyum jahil, cewek itu mengalungkan lengannya ke leher Zain dan menarik cowok itu agar semakin dekat dengannya. Tanpa basa-basi mendaratkan bibirnya di pipi Zain.

Zain membeku.

"Hehe," gumam Devan tertawa.

Dari kejauhan, wanita itu --Widya-- menatap dengan ekspresi aneh. Lalu mendongak melihat Arkan yang tengah memperhatikan Devan dan Zain. Pria itu merasa familiar, tapi tak begitu peduli akan hal itu.

Dia merasa wajar akan perlakuan itu, apa lagi mereka saat ini berada di hotel. Berbagai kelakuan pasti terlintas di lorong hotel.

"Ya ampun, anak jaman sekarang emang nggak tahu malu," sindir Widya sambil melirik. "Mana pada muda lagi, apa orangtuanya nggak ngajarin sopan santun, ya?"

"Udah, jangan diurusin, aku lebih kasian sama orangtua yang anaknya cewek, bisa ngelepas anaknya gitu aja di hotel sama cowok," balas Arkan sambil merangkul Widya dengan mesra.

Begitu keduanya berjalan manjauh, Devan dan Zain menghela napas lega. Tapi, emosi mereka tersulut karena mendengar percakapan kedua orang itu.

"Maksudnya apa nih ngatain orangtua nggak ngedidik? Emang nggak ngedidik, sih. Kan beliau satu itu hobinya mukulin anak," cerca Devan kesal setengah mati.

Zain hanya diam, posisi mereka saat ini penuh dengan keambiguan. Cowok itu bisa merasakan Devan tengah bernapas di lehernya, apalagi cewek itu sengaja mendekat. Membuat Zain sempat berpikir yang tidak-tidak.

"Van ...," gumam Zain.

"Kenapa? Lo demam? Kok mukanya merah semua," pekik Devan panik, tangannya menyentuh pipi Zain khawatir.

"Gue nggak demam ...." Zain memegang bahu Devan dan sedikit menjauh, tangan cewek itu dia singkirkan dari pipi, lalu menghela napas.

"Dari pada itu, lo masih mau ngikutin bokap lo?" tanya Zain masih bingung.

Devan menggeleng, sudah cukup untuk hari. Dia lelah karena banyak hal yang diurus dalam waktu sesingkat ini, belum lagi laporan Rafly yang masih tertunda.

"Ayo, ke kos gue. Suruh Rafly juga, sekalian beliin sekotak ayam sama soda," ucap Devan beranjak pergi.

Membiarkan Devan berjalan terlebih dahulu. Zain terduduk dengan wajah yang semakin memerah, apa itu tadi? Dia malah teringat kalau cewek itu mencium pipinya.

"Arghh! Gue salting!" Zain menutup wajahnya, mengacak-acak rambut dengan heboh.

"Zain! Ayok!"

"Eh, iya! Tunggu!"

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang