12. Tumbang

341 59 2
                                    

Babak pertama selesai dengan poin 50-57, antara Starlight dan Aphrodite. Saat ini kedua tim tengah istirahat sejenak sambil mengatur strategi untuk menjatuhkan lawan dengan mudah. Apalagi Starlight tertinggal 7 poin dari Aprhodite.

Quarter pertama.

Sedari tadi Devan hanya berpangku tangan tanpa berbuat banyak, kepalanya pusing sekali, bahkan dirinya tak mendengar ocehan Zain yang emosi karena tim lawan merebut bola secara kasar darinya.

"Gue benci banget sama yang namanya Bryan, nomor punggung 02, nggak ngotak anjir mainnya!" oceh Zain sambil memperagakan cara main Bryan.

"Gue bahkan nggak sadar ada Kuroko di belakang, tuh anak keberadaannya nggak kerasa! Lo harus hati-hati sama nama yang gue sebutin, ada Kuroko, Aomine, sama Akashi! Mana bahasa Indonesia mereka lancar banget lagi, bikin gedeg aja." Zain menunjuk ketiga orang dari tim lawan, mereka kewarganegaraan Jepang.

Baik Devan maupun mereka yang berada di bangku cadangan, hanya mendengarkan bagaimana Zain mendeskripsikan cara main tim lawan. Berbeda sekali dengan Rafly yang fokus menatap Devan, entah kenapa firasatnya mengatakan kalau Devan dalam kondisi yang tidak fit untuk tanding.

"Mana handuk tadi?" Rafly mengadah tangannya.

"Ini," balas Devan sambil memberikan handuk.

Rafly terdiam begitu merasakan suhu handuk yang awalnya dingin berubah hangat, dia menarik Zain mendekat lalu berbisik dan menyuruhnya melihat kondisi Devan.

"Van, lo nggak sakit, kan?" tanya Zain serius, dia berjongkok di depan Devan.

"Gue sehat," balas Devan singkat.

Merasa kurang meyakinkan, tangan Zain meraba kening Devan secara perlahan, keduanya menyerngit halus. Devan yang merasa tak nyaman, dan Zain yang melotot karena merasakan suhu tubuh Devan yang tinggi.

"Lo ...." Zain menatap Devan lurus, meminta jawaban pasti.

Devan menggeleng. "Diam, Zain, bagaimana pun caranya gue harus tanding, tim kita kewalahan ngejar poin, apalagi 3 orang yang lo sebutin itu udah masuk tahap nasional tahun lalu."

"Tapi, lo demam, Devan! Lo istirahat aja di bangku cadangan!" Zain berkata khawatir, bahkan meremas bahu Devan yang kecil di tangannya.

Kapten basket itu tak menjawab, dia hanya menatap lurus pada Zain dengan sorot tak terbantahkan. Memang, hari ini rasanya pusing sekali, Devan yang biasanya ceria dan penuh senyum itu berubah dingin tak tersentuh karena berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.

"Ok, fine! Tapi, kalo lo ngerasa udah nggak kuat, bilang sama kami, biar lo istirahat di quarter ketiga," ucap Zain menyerah, sungguh, Devan sangat keras kepala.

"Hm."

Mendengar gumaman tak bernyawa itu, Zain berinisiatif mengambil tas lalu mengeluarkan roti tawar dan susu vanila. Dia menawarkannya pada Devan, dan diterima dengan baik oleh cowok gadungan itu.

"Jangan sakit, lo nyawa tim kami, Van." Zain menepuk kepala Devan pelan.

Devan mendengus, menepis tangan Zain yang masih saja bertengger manis di kepalanya. Dia risih sekaligus terganggu.

"Jangan sentuh, lo bau."

"Cepat sembuh!" kutuk Zain kesal.

Devan menggeram kala Rafly melempar handuk basah ke wajahnya, sial, rasanya enak sekali karena dingin. Devan menutup mata sejenak.

"Cepat sembuh!" seru Rafly tersenyum cerah.

✨✨✨

Dari kejauhan, Azriel baru saja datang dengan perban di pipinya. Tentu saja bekas pukulan Farhan yang memar, mau tak mau Azriel harus menutupnya agar Devan tak mengomelinya nanti.

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang