16. Echanted

400 58 2
                                    

"DEVAN?! APA YANG TERJADI SAMA MUKA MULUS LO!" teriak Zain histeris.

"Berisik, cuki!" balas Devan sinis.

Zain tak membalas, malah menarik Devan cepat dan mendudukkanya di sofa kanker. Dia mengamati wajah Devan dengan teliti, jika biasanya wajah Devan mulus tanpa jerawat dan komedo, bahkan tidak ada baret luka. Sekarang, malah ada baret luka di sana.

"Lo berantem sama siapa, gila?!" Zain menabok punggung Devan kuat, membuat si empu kesakitan.

"Ck, siapa lagi kalo bukan Pastian, masih dendam soal kapten basket. Norak banget," balas Devan meringis, semoga punggungnya baik-baik saja.

Sebenarnya, bukan itu saja. Tapi, Devan sedang malas berbicara panjang lebar. Dia hanya ingin pulang dan merenung di teras kos sambil minum kopi. Memikirkan segala cara agar dirinya terlihat seperti cowok pada umumnya.

Sayang sekali, makin bertambah usia, bentuk tubuhnya makin feminim. Entah wajahnya, entah lengannya yang tidak bisa tumbuh otot, entah suaranya yang makin ke sini makin tidak bisa dia kontrol.

"Gue boleh nanya?" tanya Haikal tiba-tiba, cowok itu menatap Devan dari atas sampe bawah.

"Apaan?" balas Devan datar.

"Bukannya gue sombong, punya lo panjangnya berapa?" Haikal melirik Devan, tepatnya tubuh bagian bawah.

"Pan ... jang?" ulang Devan terbata-bata.

"Iya, juga. Gue penasaran soal itu, trus kenapa lo nggak mau ganti di ruang ganti basket? Lo malu kalo punya lo kecil, ya, Van?" sahut Pedro heran.

Secepat kilat Devan mengambil jaket, lalu menutup tubuh bagian pinggang sampai lututnya. Wajahnya memerah karena kalimat itu. Dia lupa fakta lain! Kalau cowok suka sekali pamer tentang hal seperti itu!

"Van! Lo mau ke mana?!" Fajar menahan lengan Devan, membuat si empu meringis pelan.

"Lepas!" Devan menyentak kuat, sungguh, lengannya sakit karena perkelahian kemarin. "Mau bolos, titip absen kalo bisa. Pembahasan kalian rusak."

"Eh, woi!"

Devan langsung kabur dari sana, tas sudah dia titip di kantin agar mempermudah jalan kaburnya. Dia tidak tahan dengan pembahasan itu, yang jelas dia tidak punya!

Tidak mudah untuk keluar dari sekolah elite ini, tapi dia bisa dengan memanjat pagar setinggi 3 meter.

Keluar dari pekarangan sekolah dengan motornya ——Motor Devan parkir di dekat toko kelontong——, Devan mampir sebentar membeli minum, lalu berhenti di taman dengan raut kusut.

Cowok gadungan itu mengelus lehernya.

Tenggorokan Devan sakit, sudah hampir 2 tahun dia merubah suaranya, memberatkan suaranya sampai serak. Dan itu tidak mudah sama sekali. Kalau bisa menangis, Devan ingin menangis karena situasinya cukup berat.

"Gue capek," ucap Devan dengan suara aslinya. "Tapi, gue udah janji sama Papa sampai tamat SMA. Gue pikir bakal mudah nyamar kayak gini, mana gue enteng banget bilang iya."

Devan menatap ke bawah, manik hitam itu menyipit tak nyaman. Sebelum dia masuk SMA, dia sudah mengamati bagaimana tubuh cowok itu. Dan, yang paling membuatnya tidak nyaman adalah bagian tubuh bawah.

"Apa gue ganjel, ya?" Devan mengelus dagu berpikir. "Hih! Gila gue, jangan deh!"

Devan mengacak-acak rambutnya frustasi, lalu sadar. Rambutnya bahkan sudah lumayan panjang, melebihi daun telinga. Satu hal yang patut dia syukuri, sekolahnya tidak memiliki aturan ketat soal rambut, asalkan jangan diwarnai.

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang