"Lo ngapain?"
Zain terkejut, hampir menjatuhkan handphone milik Selena. Cowok itu menoleh dengan tatapan tajam, apa itu tadi yang dia baca? Bukankah itu adalah ancaman nyata yang ditunjukkan oleh Arkan pada cewek itu?
Membiarkan Selena bangkit dan menjauh darinya, cewek itu merampas handphone miliknya. Lalu berjalan ke arah lemari baju. Rautnya terlihat biasa saja karena sudah terbiasa diperlakukan dengan kasar.
"Sorry, untuk hal kayak gini lo nggak boleh ikut campur, Zain." Selena menatap pesan itu sekilas, lalu tersenyum tipis.
Melihat Selena beranjak dan mengambil sweater, Zain segera mencekal pergelangan tangan cewek itu dan menahannya. "Lo mau ke mana? Jangan bilang nemuin Bokap lo?"
Selena diam, cewek itu menghadap Zain dan melepas secara lembut tangan cowok itu. Pikirannya berkelana jauh soal Arkan, jika benar Papanya itu melakukan bunuh diri. Maka, status keluarga yang ada di dunia ini pada Selena terhapus sepenuhnya. Selena tidak ingin kehilangan keluarga lagi, walaupun Papanya sangat kasar.
"Gue cuma mau ke Atom-mart," kilah Selena dengan senyum tipis.
"Gue anterin."
"Nggak usah, mau me time, minggir." Selena mendorong Zain lalu keluar begitu saja setelah pamit pada Nata.
Dari jendela kamar, Zain melihat langkah Selena pergi dengan damai, cewek itu tampak melihat sekitar lalu menoleh ke belakang. Dia masih bisa melihat Zain di atas sana dengan raut wajah muram. Tersenyum singkat, Selena berbalik dan kembali berjalan ke arah jalan raya.
Sweater kebesaran, celana training, serta topi yang cewek itu kenakan, membuat fisiknya terlihat seperti cowok pada umumnya. Selena tak berniat sekalipun untuk menemui Arkan secara cepat, kalau tidak dia pasti menggunakan motornya sendiri untuk segera bertemu dengan Papa.
Entah kenapa Selena ingin menikmati waktunya sejenak sambil memperhatikan sekitar, firasatnya buruk begitu menerima pesan Arkan. Ada suatu hal yang salah dengan pesan itu, apa lagi menyangkut nyawa. Itu menyeramkan.
Papa : Temui saya di Jln. Siliwangi.
Baik, Pa
Jalan Siliwangi itu termasuk dekat dari rumah Zain, karena hanya melewati 2-3 lampu merah dan berbelok setelahnya. Selain itu, di dekat jalan tersebut terdapat jajanan dan taman rekreasi untuk piknik santai. Kadang, ketika lewat sana, Selena merasa iri dengan anak-anak yang orangtuanya lengkap.
"Oit! Van!"
Selena berhenti, lalu menoleh sekilas. Ada Rafly dan Haikal yang menyapa di balik jalan. Sekilas Selena menatap dirinya, beruntung dia memakai sweater kebesaran, celana, serta topi, jadi identitasnya tidak ketahuan sama sekali walaupun rambutnya sudah memanjang.
"Tumben sendiri, Zain mana?" tanya Rafly berjalan di sisi Selena dengan raut penasaran.
"Gue tinggal, kelamaan beli jajan," dusta Selena sambil tersenyum tipis.
Haikal menatap Selena dari atas hingga ke bawah, merasa curiga dengan pakaian cewek itu. Tanpa bermaksud apa-apa, cowok itu menepuk bahu Selena dan menyerngit halus.
"Perasaan gue aja atau bahu lo emang sekecil itu, Van?" tanya Haikal curiga.
Bahu? Selena tersenyum tipis, lalu menepis kasar tangan Haikal yang masih bertengger manis di sana. Kalau dilihat lagi, Haikal tipe observasi jika sudah serius. Lihat saja sekarang, cowok itu tampak serius dan menaruh kecurigaan padanya.
"Kalian mau ngapain? Ngerecokin gue atau mau jajanin gue?" tanya Selena kalem.
Haikal dan Rafly menggeleng serentak, keduanya tak ingin melakukan apa yang Selena bilang, niat mereka hanya menghampiri cewek itu, lalu sekedar menyapa. Mereka punya rutinitas lain, yakni pergi gym.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Boy
Teen FictionDevan Reliaz. Siapa bilang dia cowok? Dia adalah cewek tulen yang menyamar sebagai cowok di SMA Starlight, memiliki paras manis, tinggi, jago berkelahi, suka tebar pesona, bahkan sikapnya sudah persis seperti cowok pada umumnya. Tidak ada yang tahu...