Hampir 1 Minggu Devan izin dari Starlight. Selama itu pula Syena berada di kosan Devan sambil mengomel, memasak, dan merawatnya dengan penuh perhatian. Syena tidak ingin sepupunya itu melakukan hal yang berbahaya, apa lagi sampai mengancam nyawa.
Jangan sampai Devan membuat barcode di tangannya.
"Na, hari ini lo sekolah?" tanya Syena sbil menyendok sarapan.
Devan mengangguk. "Harus hadir, udah lama gue nggak sekolah."
"Lo yakin?"
"Iya, yakin," balas Devan pelan.
Syena menghela napas, lalu tersenyum menyemangati. "Kalo gitu semangat dong, mana senyumnya? Ayo, senyum manisnya mana Nana-ku~"
Mendadak Devan tertawa, dia digoda seperti anak kecil oleh Syena. Reflek dia langsung tersenyum dan berucap terima kasih atas semua perhatian Syena padanya.
Syena tersenyum, diam-diam dia bersyukur dengan kondisi Devan yang sudah membaik. Selama seminggu belakangan cukup sulit baginya, karena Devan masih saja bersedih dan menyalahkan diri. Bahkan, kalau Syena sempat lengah beberapa menit saja, mungkin Devan sudah mati kedinginan karena hujan-hujanan selama berjam-jam.
Jangan sampai Syena kehilangan satu-satunya sepupu perempuannya!
"Gue pergi dulu, lo sendiri gimana?" Devan bertanya sambil merapikan seragamnya.
"Aman, ntar lagi gue otw Bluemoon, gampang itu," balas Syena sambil mengibaskan tangannya ringan.
"Hati-hati, ya, Sye."
"Iya, Selena."
✨✨✨
"Devan!"
Zain berhambur memeluk tubuh Devan erat, tanpa aba-aba Devan langsung memukul wajah Zain dan beranjak dengan raut horor. Dia merasa ngeri dan ketakutan secara bersamaan.
"Najis! Jauh-jauh lo, Zain! Hus-hus, virus mematikan!" Devan dengan cepat melumuri tangannya dengan cairan antiseptik.
Zain berdecih, lalu terduduk di atas meja dengan gaya merajuk. "Padahal gue rindu banget sama lo, Van. Bisa-bisanya lo nggak sekolah selama seminggu, lo anggap gue apa?"
"Kuman," balas Devan tak peduli.
"Sedihnya," desah Zain dengan senyum tipis.
Memperhatikan Devan dengan seksama, Zain menyadari satu dan dua hal dari temannya itu. Devan terlihat lebih kurus dari biasanya, dia bisa merasakannya saat memeluk cowok gadungan itu. Yang paling terlihat adalah matanya, begitu kosong dan tidak ada cahaya sedikit pun di sana.
"Lo ... bener baik-baik aja, kan? Kalo ada masalah, bilang, ya?" ucap Zain dengan hati terenyuh.
Devan terdiam, berusaha tidak peduli dengan ucapan Zain yang seolah-olah tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja. Devan menghela napas, lalu meletakkan tasnya di bangku, terduduk sambil menyandarkan kepala di meja.
"Menurut lo ... gue ini orangnya gimana, Zain?" tanya Devan serius.
"Lo mau tau?" balas Zain menaikkan alisnya.
"Iya."
"Hmm ..." Zain mengelus dagunya sok berpikir keras. "Dari fisik dulu, deh. Lo keliatan kayak cewek, postur badan lo nggak wajar. Bahu kecil, kulit putih, nggak ada ototnya, nggak suka matahari kayak vampir. Jujur, gue agak ragu lo cowok sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Boy
Teen FictionDevan Reliaz. Siapa bilang dia cowok? Dia adalah cewek tulen yang menyamar sebagai cowok di SMA Starlight, memiliki paras manis, tinggi, jago berkelahi, suka tebar pesona, bahkan sikapnya sudah persis seperti cowok pada umumnya. Tidak ada yang tahu...