"Devan!"
Selena berhenti, merasa familiar dengan suara yang sudah lama tidak cewek itu dengar. Dia menoleh, mendapati Azriel tengah berlari dan menghampirinya dengan napas yang ngos-ngosan. Entah sudah berapa lama Selena tak melihat Azriel, rasanya sejak pernyataan di pasar malam itu.
"Devan, gue mau minta maaf."
Selena menggeleng. "Bukan Devan, tapi Selena Aurelia, lo bisa panggil gue Selena pas kita berdua aja. Soal minta maaf, it's ok, you're not wrong, the universe is wrong for making me like this."
Mendengar itu, Azriel terdiam. Dia tetap tidak terbiasa memanggilnya dengan nama itu, sudah sangat terbiasa memanggil dengan Devan. Lalu, omongan selanjutnya terdengar Selena sudah begitu lelah untuk menghadapi semua sisi. Bahkan, menyalahkan dunia tanpa cewek itu sadari.
"Lo baik-baik aja?" tanya Azriel hati-hati.
"Keliatannya?" Selena tanya balik, terkesan tidak peduli dan lesu.
"Lo depresi."
Depresi? Haruskah Selena tertawa mendengar kalimat itu dari Azriel? Tidak, karena itu bukanlah hal yang lucu. Cewek itu mengusap keningnya pelan lalu menatap sekitar. Masih berharap saat jalan pulang ini dia bisa bertemu dengan Arkan. Nihil, pria itu tidak datang. Padahal Selena memiliki segudang pertanyaan walaupun pada akhirnya dipukul kembali.
"Devan."
"Gue muak dengernya," balas Selena tanpa ekspresi. "Mending lo diem atau gue sleding?"
"Gue milih buat ngomong."
Tanpa bisa dicegah, Selena menyentil kening Azriel kuat dan mendengus sebal. Sedangkan, cowok itu hanya mengusap wajahnya pelan dan kembali menatap Selena lekat-lekat. Fitur wajah Selena memang cantik, bahkan jadi cowok pun dia memenuhi standar cowok macho, kecuali tubuhnya yang langsing.
Azriel ... masih menyukai Selena.
"Mau ngomong apa?" tanya Selena sambil mengajak ke bangku tepi jalan.
Beruntung hari ini sudah sore, matahari tidak begitu terik menyinari daerah sekitar. Selena mendudukkan tubuhnya di bangku dan menatap langit dengan sorot lelah.
"Lo jangan nyela," ucap Azriel memperingatkan.
"Okey."
Azriel menghembuskan napas secara perlahan, duduk menghadap Selena dengan sorot serius. Manik cokelat itu sejenak ragu, tapi meyakinkan diri untuk berbicara jujur.
"Sedari awal, saat kita bertemu. Gue kira lo orang aneh yang suka sama gue, karena pas itu lo jadi cowok tulen, melebihi gue."
Selena menyimak, membiarkan Azriel berpikir.
"Tapi, seiring berjalannya waktu. Kita jadi sering ketemu karena acara sekolah, baik di sekolah lo maupun gue, selalu ketemu. Bahkan, lo nolongin gue dari pembully itu. Di situ gue kagum karena ada yang ngelawan Farhan, sedangkan anak sekolah gue nggak ada yang berani."
Selena menaikkan sebelah alisnya, tetap diam karena masih belum menemui pembicaraan yang pas untuk disela.
"Dan ...," Azriel mengulum bibirnya, lalu menghela napas. " ... gue jadi jatuh hati sama lo sejak saat itu. Tapi, gue denial karena lo cowok. Gue ngerasa kotor karena suka sesama jenis. Lalu, gue juga dihasut sama Pastian karena dia bilang lo suka kekerasan, gue terjerumus ke arah yang nggak baik."
"Puncaknya, lo yang jalan sama temen lo di pasar malam. Gue nggak ngeh awalnya, karena lo pake baju cewek. Tapi, setelah gue pastiin, ternyata beneran lo, Devan."
Devan lagi ....
Selena tetap diam, dia tidak akan protes soal pemanggilan itu. Baginya, sekarang yang namanya Devan dan Selena itu sama saja. Orangnya tetap sama.
Azriel menatap Selena dengan senyum terpaksa.
"Gue ... terlambat."
✨✨✨
Manik hitam itu menatap keluar jendela, langit malam dihiasi bintang dengan bulan sabit di atas sana. Selena terduduk di lantai kos dengan pipi yang bertumpu di lutut.
"Jadi, semua ini buat apa?" gumam Selena.
Sakit kepala, Selena beranjak lalu berbaring di atas tempat tidur. Cewek itu menatap handphonenya, lalu menyerngit halus saat melihat nomor yang tidak dia kenal mengiriminya pesan.
+6282283600048 : Selamat malam, Nona Selena. Saya Daniel, sekretaris tuan Arkan. Ayah kandung Nona.
"Memangnya Papa punya sekretaris? Perusahaan besar?" Selena bergumam ragu.
Setahu dia, Arkan bekerja di luar kota. Tapi, gadis itu tidak tahu sama sekali soal pekerjaan Arkan, karena pria itu tak pernah memberitahunya sedikit pun. Yang ada ketika berjumpa, hanya akan ada kekerasan tanpa komunikasi lebih lanjut.
+6282283600048 : Saya yakin anda tidak akan percaya dengan saya. Di sini saya hanya ingin memberitahu, bahwa tuan Arkan sama sekali tidak berniat membuat anda menerima semua perlakuan kasar ini. Beliau sangat menyayangi anda.
Apa?
Sangat menyayangi?
Selena tertawa sinis, tidak ada orangtua yang seperti itu. Sedari awal saja sudah salah karena melakukan kekerasan, apa lagi dilandasi kasih sayang.
Yang benar saja.
Itu tidak mungkin.
"Dikira gue bakal percaya? Ke mana aja Papa selama ini kalau memang sayang sama gue? Bullshit," ucap Selena melempar handphone, lalu berguling hingga jatuh ke lantai.
Kepalanya terantuk lantai, bibir gadis itu meringis kesakitan, lalu terdiam lama. Pikirannya berkelana pada si Daniel yang mengaku sebagai sekretaris Arkan.
Jika ... semua itu benar ... apakah Selena memiliki harapan?
Selena tidak ingin berharap lebih, tapi di lubuk hatinya terdalam, terdapat keinginan untuk memiliki kasih sayang dari Papanya.
Gadis itu mengangkat lengannya, menutup wajahnya dengan lengan. Perlahan, bulir bening mengalir membasahi pipinya.
Selena merasa sakit dengan semua hal. Hatinya sakit karena perilaku Arkan padanya, di sisi lain dia berharap akan kemustahilan itu terjadi.
Tidak ada anak yang tidak ingin disayangin oleh orangtuanya.
+6282283600048 : Jika Nona tidak keberatan, bisakah Nona menemui saya di jalan Siliwangi sekali lagi?
✨✨✨
Btw, nomor Daniel beneran aktif. Gue nggak ngada-ngada soal nomor. Kalo nomor itu lengkap tanpa huruf x, tandanya nomor itu aktif dan ada yang memakai.
Wkwkwk
Selamat, anda mendapatkan nomor seseorang😭
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Boy
Teen FictionDevan Reliaz. Siapa bilang dia cowok? Dia adalah cewek tulen yang menyamar sebagai cowok di SMA Starlight, memiliki paras manis, tinggi, jago berkelahi, suka tebar pesona, bahkan sikapnya sudah persis seperti cowok pada umumnya. Tidak ada yang tahu...