46. Halo

170 25 24
                                    

Berita kematian Devan merebak ke seluruh warga Starlight. Mereka bahkan meletakkan bunga lily putih di meja Devan sebagai bentuk bela sungkawan. Walaupun Devan bukan lagi bagian dari Starlight, tapi prestasi cowok itu tetap tinggal di Starlight.

Di puing-puing pesawat, hanya pakaian Devan yang ditemukan, tanpa jasad. Melihat bajunya yang terlihat koyak dengan darah yang menghiasi, sudah dipastikan Devan pergi untuk selama-lamanya. Jasadnya pasti sudah hilang terbawa arus.

Bahkan, di lapangan basket sudah ditaburi bunga mawar merah dan lily putih tipis untuk mengenang mantan kapten basket itu. Di sudut lapangan, seorang cowok tengah menengadah dengan ekspresi sedih. Zain berdiri di tepi lapangan, tangannya bergetar mengambil kelopak bunga yang diterbangkan angin.

"Kamu benar-benar pergi meninggalkanku, ya, Selena?" gumam Zain sendu.

"Padahal aku baru saja mengenalmu, tapi kenapa begitu singkat?"

Di kejauhan, Rafly dan Haikal saling bertatapan. Keduanya tentu sedih karena kehilangan sosok Devan untuk selamanya, sudah ratusan kenangan yang mereka buat selama 1 sekolah. Tiba-tiba saja cowok itu meninggal dunia setelah berpamitan dan pindah sekolah.

Siapa yang tidak terkejut?

"Zain keliatan terpukul," celetuk Haikal sambil duduk di DPR atau kepanjangan dari Di bawah Pohon Rindang.

"Sahabatnya meninggal, siapa yang nggak sedih?" balas Rafly mengelus dagunya.

"Bukan cuma dia yang sedih, gue pun sedih karena kehilangan kapten sehebat dia. Saingan gue hilang sama badannya," ucap Haikal yang membuat Rafly darah tinggi.

"Goblok! Nggak lucu!"

Rafly mendengus, memukul kepala belakang Haikal geram. Yang benar saja, kenapa dia berbicara seperti itu?! Benci sekali Rafly sama mulut sembarangan milik Haikal.

"Duh, santai dong, mau gimana pun kehidupan bakal terus berjalan. Nggak usah sedih banget," ucap Haikal membela diri.

"Jauh-jauh lo dari gue! Hus-hus! Nggak punya hati lo!"

Bukannya terusir, Haikal masih anteng di tempat duduknya. Mau tak mau Rafly beranjak dan menghampiri Zain yang masih terdiam. Hatinya terasa ngilu karena keterdiaman Zain, walaupun cowok itu sering diam saja, tapi heningnya membuat siapa pun sedih.

"Zain," panggil Rafly sambil menepuk bahu cowok itu tenang. "Kalo lo kayak gini, Devan bakal sedih dan nggak tenang di sana."

Rafly masih mengusap bahu temannya itu tanpa menatap wajahnya. Zain masih memunggungi Rafly dengan wajah tertunduk, tak ada siapa pun yang dapat melihat ekspresinya.

Begitu berjalan ke depan dan menatap wajah Zain lamat-lamat, cowok itu dikejutkan dengan bulir bening yang mengalir di pipi Zain.

"Zain!"

✨✨✨

Kelas lama Devan terasa amat sunyi dari biasanya. Warga kelas itu dilingkupi perasaan sedih, bahkan guru olahraga hanya menerangkan datar soal bola basket untuk dipraktekkan Minggu depan.

Tak satupun dari mereka yang melayangkan pertanyaan, mereka hanya menjawab pertanyaan dari guru olahraga secara singkat dan mudah dipahami.

Biasanya, pertanyaan itu akan dijawab antusias, entah kenapa suasana memang sedang turun, sesuai dengan suhu yang lumayan dingin. Yakni, 19°c.

Sampai guru itu keluar, tidak ada raut binar dari mereka semua. Rafly beranjak dan menghampiri Zain agar pulang bersama. Walaupun cowok itu hanya diam, dia tetap mengikuti Rafly tanpa banyak bicara.

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang