Rumah besar dengan pagar hitam tinggi menjadi penampakan pertama di mata Selena. Ada rasa sesak saat melihat rumah itu, sejumlah kenangan hitam masuk begitu saja, membuat pandangan Selena buram karena air mata.
"Nona?"
"Ada jaminan kalau Papa nggak bakal mukul gue?" tanya Selena menyembunyikan rasa takutnya.
Daniel terdiam, selama ini dia belum pernah menyaksikan bagaimana perlakuan Arkan pada Selena. Dia hanya mendengar cerita saja dari tuannya, membayangkannya saja membuat Daniel merasa bersalah karena tidak bisa menolong.
"Saya akan melindungi, Nona."
Melindungi? Selena menoleh cepat ke arah Daniel, menilai fisik pria itu yang terlihat lebih kecil dari Arkan. Seberapa gesit pria itu bisa melindunginya akan kekerasan Arkan?
"Pembohong publik," cibir Selena, dia mendumel sebelum terdiam karena gerbang dibuka oleh security.
Rasa takut kembali menyerang Selena, mendadak tangannya dingin karena semua kenangan pahit bersama Arkan teringat olehnya. Cewek itu menghela napas perlahan, menguatkan hati.
"Ayo, Om. Mau gimana pun gue harus ketemu Papa," ucap Selena masuk terlebih dahulu, diikuti oleh Daniel di belakang.
Dengan tangan bergetar, Selena membuka pintu rumah dan masuk secara perlahan. Manik hitam itu menatap penjuru rumah, lalu terhenti begitu melihat Arkan duduk berpangku tangan di sofa tamu.
Arkan menoleh, menatap Selena lama. Jujur saja, Selena tidak tahu arti dari tatapan Arkan yang begitu dalam padanya.
"Papa," gumam Selena mencengkram erat kemejanya, hingga kemeja itu kusut.
"Sini, Nak."
Terlonjak kaget, bukannya mendekat pada Arkan, cewek itu malah terdiam karena kalimat pria itu. Sejak kapan Arkan menggunakan kalimat selembut itu padanya? Selena merasa hatinya terenyuh sakit.
"Selena, sini dekat Papa."
Selena tersentak, menoleh ke belakang dengan cepat. Daniel mendorong pelan bahunya agar segera menghampiri Arkan. Manik hitam itu melotot tajam, memperingati agar Daniel menjauh darinya.
"Maaf, Nona."
Menguatkan hati kembali, Selena berjalan ke arah Arkan. Dia hanya berdiri dengan jarak dekat, tak berbicara maupun duduk di sisi Arkan. Terlalu takut untuk bersuara membuat Arkan tersenyum kecut.
"Selena, maafkan Papa, karena sudah berbuat kasar padamu, Nak," ucap Arkan duduk menghadap anaknya.
"Kata maaf nggak bakal bikin luka yang Papa buat sembuh," balas Selena memegang ujung sofa kuat.
Arkan menunduk. "Papa tau hal itu, yang bisa Papa bilang hanya kata maaf. Bagaimana caranya Papa mendapatkan maaf darimu, Nak?"
"Pa, seenggaknya Papa bilang sama aku, apa alasan Papa berbuat seperti ini? Aku mau penjelasan lengkap dari Papa, bukan cuma garis besarnya aja, Pa."
Arkan mendongak, menatap anak gadis satu-satunya. Dia terkejut kala melihat Selena menahan tangis di sana, cengkraman di sofa begitu kuat sampai Arkan meringis pelan.
"Akan Papa ceritakan semuanya, termasuk di mana makam Mama kamu, Nak."
Mendengar itu, Selena perlahan duduk di sofa. Walaupun berjarak, tapi Arkan begitu senang karena anaknya mau berdekatan seperti ini.
"Papa akan cerita, tapi kamu jangan menyela, ya, Nak."
Selena mengangguk.
"Sejak awal, Papa merasa bersalah sama kamu karena tidak merawat kamu sedari kecil. Rupamu yang begitu mirip dengan Mamamu, membuat Papa teringat dan sakit hati karena ditinggalkan. Begitu lama kamu dirawat sama adik perempuan Mamamu, akhirnya kamu kembali ke rumah ini, bertemu dengan Papa."
"Tapi, Papa malah membuat keputusan yang salah. Saat itu, perusahaan yang Papa pimpin mengalami kendala berat, ada pengkhianat yang menyebar informasi perusahaan. Papa dan tim berusaha demi perusahaan hingga kembali stabil, di sanalah timbul pemikiran."
"Jika anakku tidak memiliki mental dan pemikiran yang cerdas, apa bisa Selena menangani perusahaan yang akan Papa wariskan? Itulah kenapa Papa didik kamu menjadi anak laki-laki, namun ... Papa salah langkah. Seperti yang kamu duga, kamu Papa pukuli dan dididik dengan tidak wajar," ujar Arkan mengusap wajahnya kasar, manik hitam menatap Selena nanar.
"Maafkan Papa, Nak."
Lama keduanya diam di posisi masing-masing, Arkan dengan perasaan bersalah dan Selena yang masih menunduk memikirkan perkataan Arkan dalam-dalam.
Tidak ada gunanya berpikir dengan emosi, Selena hanya harus berpikir dingin agar semua masalah selesai dengan mudah dan cepat. Buat apa berpikir dengan kepala yang panas dan emosi yang meledak-ledak, akan menimbulkan kesengitan antar 2 manusia saja.
"Di mana ... makam Mama?" Selena membuka suara, menatap Arkan datar.
"Mari Papa tunjukkan."
✨✨✨
Tempat Pemakaman Umum.
Selena tengah berdiri di depan gundukan tanah, ada bunga baru di atas makam itu, pertanda belum lama ini ada yang berkunjung ke makam ini.
"Tadi pagi Papa sempatkan berkunjung ke sini, semasa hidup dulu, Mamamu suka sekali dengan mawar merah," ucap Arkan berjongkok, lalu mengelus batu nisan itu pelan.
"Kelahiranmu ditunggu dengan suka cita oleh kami, tapi setelah Mamamu melahirkanmu selama beberapa menit. Dia pergi untuk selamanya."
"Papa terpukul atas kematiannya, bahkan kamu diambil secara sepihak oleh tantemu karena khawatir tidak bisa Papa rawat," lanjut Arkan.
Arkan mendongak, menatap Selena yang masih terdiam lama. Perlahan, cewek itu duduk di sebelah makam Mamanya. Manik hitam itu berkaca-kaca, belum sempat air matanya menetes, dengan cepat dia usap agar tak jatuh ke makam.
"Ma, ini aku, Selena. Kayaknya udah terlambat buat bilangnya, ya? Salahin Papa karena nyembunyiin Mama dari aku. Padahal, kan, aku juga anak Mama."
"Mama tenang aja, aku sehat kok, walaupun banyak masalah yang datang, tapi lihat! Aku masih hidup, walaupun mental aku dikikis sedikit demi sedikit sama Papa," ucap Selena melirik Arkan sekilas, lalu kembali menatap batu nisan.
"Kalau bisa waktu diulang, aku mau Papa aku bukan Papa Arkan. Tapi, aku nggak bisa lawan takdir kehidupan, apa yang udah terjadi, biarlah terjadi," lanjut Selena mengelus makam itu pelan. Cewek itu menatap telapak tangannya, kotor bekas tanah.
"Mama harus datang, ya, ke mimpi aku? Aku belum pernah liat Mama, aku kangen Mama," bisik Selena dengan manik berkaca-kaca, cewek itu membiarkan air matanya lurus. Menetesi makam tanpa bisa dicegah.
Sore itu, Selena habiskan harinya dengan Arkan di pemakaman. Bercerita tanpa raga orang tersayang, berusaha mengakrabkan diri pada Papa walaupun masih ada rasa takut pada Arkan.
Bagaimana pun, Selena harus melewati masa-masa yang kelam agar bisa menjumpai masa yang lebih cerah dari masa sekarang. Selena memaafkan Arkan, itulah yang membuat pria itu bersyukur bukan main.
Di sore hari itulah, Selena mendapatkan pembebasan dari Arkan. Kembali ke identitas aslinya, melenyapkan seseorang yang bernama Devan untuk selama-lamanya.
Keduanya sepakat untuk tinggal bersama mulai detik itu. Selena juga akan membantu Arkan bila ada kesulitan yang ditimpa. Tentu saja, nilai Selena harus dinaikkan agar sesuai dengan pekerjaan nanti.
"Ayo pulang, Nak."
✨✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm (not) a Boy
Teen FictionDevan Reliaz. Siapa bilang dia cowok? Dia adalah cewek tulen yang menyamar sebagai cowok di SMA Starlight, memiliki paras manis, tinggi, jago berkelahi, suka tebar pesona, bahkan sikapnya sudah persis seperti cowok pada umumnya. Tidak ada yang tahu...