19. Trauma

392 52 4
                                    

Di lorong yang serba putih, dengan bau obat-obatan, serta suara dari ruangan UGD. Dalam keadaan mata tertutup, Devan tahu bahwa dirinya berada di rumah sakit.

Saat ini Devan di periksa oleh seorang dokter wanita. Dokter itu menatap Devan lama, dari pakaiannya seperti cowok, tapi ternyata setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata pasiennya adalah cewek. Terdapat banyak perban yang melilit di dadanya.

Kening Devan berkerut dalam, matanya terbuka perlahan, merasa silau dengan lampu di ruangan itu. Tatapannya langsung beralih pada dokter, lalu mengalihkan pandangannya kesal.

Dokter menghela napas. "Tipe alergi kamu parah, beruntung keluargamu cepat, kalau tidak kamu sudah kehilangan nyawa. Bagaimana keadaanmu? Perasaanmu sendiri bagaimana? Tenggorokanmu sakit, kan?"

"Iya," balas Devan serak.

Suaranya serak, terdengar sumbang dan susah untuk sekedar menelan saliva. Devan beranjak duduk, bersandar dengan helaan napas panjang.

"Kamu sudah tahu punya alergi udang?"

Devan mengangguk.

"Trus kenapa dimakan?! Jangan menguji nyawamu sendiri, Nak, kalau alergi, jauhi makanan itu! Gejala alergimu itu yang terparah, bukan cuma gatal-gatal saja. Ingat itu! Saya kasih resep obat, diminum! Jangan sampai tidak diminum. Ngerti?"

Devan menatap malas, dia dimarahi oleh dokter perkara alerginya. Lalu, apa selanjutnya? Membahas dirinya yang berpakaian layaknya cowok atau membuka perban di dadanya? Entahlah, Devan sedikit kehilangan arah.

"Saya tidak akan bertanya apa pun soal itu, kamu tenang saja," ucap dokter sambil duduk di kursi, tatapannya serius.

"Lalu, yang di luar itu keluargamu, bukan?" Dokter berpangku tangan, tatapannya melembut.

"Enggak, mereka bukan keluarga saya. Yah, ada acara makan malam dan saya diundang oleh pihak cowok," ucap Devan terus terang, kalau bersama dokter, rahasianya aman-aman saja.

"Mereka tahu kamu perempuan?"

"Nope! Saya cowok depan mereka," balas Devan dengan senyum tipis.

"Jangan banyak ngomong dulu, simpan suaramu, suaramu terdengar sangat rendah dan sumbang."

Devan hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali bersandar dengan tatapan datar. Dia lelah untuk terus berpura-pura baik-baik saja di depan orang lain.

Membiarkan Devan terdiam, dokter beranjak pergi, keluar dari ruangan dan menutupnya kembali. Azriel yang menyadari pertama kali, langsung masuk ketika langkah dokter itu menjauh.

Cowok itu membuka pintu, manik cokelat itu bergetar pelan kala melihat Devan yang terdiam, raut wajah Devan sangat buruk. Bibirnya pucat, bahkan terbatuk sesekali dengan helaan napas panjang.

"Devan ... maaf," ucap Azriel menunduk dalam.

"It's ok, not your fault," balas Devan berusaha tersenyum.

Hati Azriel mencelos mendengar suara Devan. Dengan cepat, cowok itu berdiri di samping bankar Devan, lalu memeluknya dengan erat tanpa merasa curiga.

Devan tersentak kaget, reflek mendorong Azriel dengan kuat. Matanya melotot tak percaya dengan tindakan impulsif itu, walaupun Devan sangat ingin berada di dekat Azriel, tapi tak seperti ini caranya.

Dia masih cowok saat ini.

"Apa-apaan?! Nggak usah peluk gue, Azriel!" Devan memeluk tubuhnya, tangannya gemetar pelan.

Kaget? Azriel terdiam, merasa kalau Devan bukanlah Devan yang dia kenal. Tatapannya jatuh pada tubuh temannya itu, gemetar pelan sambil sedikit menjauh darinya.

I'm (not) a BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang