BAB 02 : PUISI UNTUK IBU

61 16 1
                                    

Hai alur nya bakal loncat loncat, jadi aku ngambil moment manis Langit sama ayah nya dari April - Desember 2017 di sini kita fokus ke biru langit masa kecil ya, mungkin sampe bab 10.

Baca bulan dan tahunya Oke, biar paham kalo alur nya mundur baru maju wkwkwk.

Happy Reading

∘₊✧──────✧₊∘

"Hal paling menyakitkan di muka bumi ini adalah, saat kamu tidak tahu bagaimana bentuk rupa sosok wanita yang sering di sebut ibu itu," _Biru Langit

Karawang Mei 2017 .

Pagi ini karawang tengah menjelma menjadi kota yang dingin, awan putih yang begitu indah itu menghilang kala sebuah kabut menyelimuti nya dan menjadikan awan hitam sebagai pengganti. Di sebuah rumah yang di bangun tak terlalu mewah itu adalah satu bangunan yang akan selalu menjadi tempat penuh kebahagiaan. Di dalamnya selalu ada canda dan tawa yang terdengar renyah, membuat siapapun akan mengira jika mereka tengah berbahagia, namun kenyataan nya itu semua belum tentu benar.

Derap langkah kaki seseorang berlari menuruni tinggi nya anak tangga, langkah yang lebar itu ia bawa pergi kehadapan pintu rumah yang terbuka, menujukan sosok tinggi yang sudah hampir setengah jam ia tunggu.

"Ayah!" seru Anak kecil itu begitu ceria dengan setangkai bunga mawar putih yang di genggamnya erat.

Tadi sebelum ia keluar, anak kecil itu sesekali mampir ke belakang rumah untuk memetik bunga di kebun.

"Ayah ayok ke makan ibu, langit kangen ibu, langit pengen ketemu ibu, boleh kan yah?" Langit berdiri di depan ayah nya, anak itu menengadahkan pandangannya untuk melihat tubuh jangkung Arkatama.

Di sana Arkatama tertunduk kecil, menatap putra nya yang terlihat seperti kurcaci. Sesekali ia menahan diri nya untuk tidak menelan Langit yang begitu menggegamaskan.

"Itu kertas buat apa?" tanya Arkatama melupakan pertanyaan pertama.

Mata Langit melirik ke samping, melihat selembar kertas yang ia simpan di kantong bajunya.

"Ini buat ibu, isinya puisi yang aku tulis tadi malem," kata Langit dengan senyuman khasnya.

Mendengar apa yang baru saja terucap di bibir si kecil, senyuman tipis itu memudar.

"Puisinya buat ibu?" tanya Arkatama dengan suara yang terdengar sedih.

Tanpa ragu, langit mengangguk dengan antusias namun itu berlaku sekejap saat dirinya melihat tatapan Arkatama yang berbeda.

"Ayah nggak suka?" tanya langit sedih.

Arkatama lantas tersenyum tipis namun terlihat tulus, tangan kasar nya terangkat ke atas dan mendarat di kepala Langit.

"Ayah akan selalu suka apa yang kamu lakukan lang," kata Ayah membuat Biru Langit tersenyum.

"Bentar ya Ayah ganti baju dulu, kamu tunggu di sini," sambung nya sebelum berjalan menuju lantai atas.

Di sana Langit hanya tersenyum sambil melihat punggung sang ayah menghilang.

☁☁☁

Rintik gerimis mulai berjatuhan menyentuh gundukan tanah yang hampir tandus itu, suara derap langkah seseorang berhenti tepat di depannya, ia terjongkok sambil meletakkan bunga mawar itu kebatu nisa setelah nya ia mulai terjongkok dengan tangan yang memeluk tubuh nya sendiri.

Biru langit, lelaki tinggi dengan bola mata seindah bulan sabit itu menatap dalam gundukan tanah yang kembali membasah. Diam diam anak itu tersenyum bahagia karena akhirnya ia bisa mampir lagi ke tempat ini, tempat di mana menjadi rumah abadi untuk manusia yang telah selesai berperang dengan pahitnya kehidupan.

"Bu... Aku Biru langit, anak ibu yang paling ganteng, ayah pun kalah sama kegantengan aku," kata Biru Langit membuat Arkatama tertawa kecil.

"Iyalah si paling ganteng," ledek Arkatama.

Biru Langit hanya terkekeh kecil, lalu tanganya mengusap halus batu nisan itu. "Ibu tau enggak? Aku ke sini buat ngasih ibu sesuatu, tadi aku bikin puisi, dibuatin sih tapi aku ngasih ini buat ibu beneran, moga ibu suka ya... Mau aku bacain?"

Arkatama tidak menjawab apa apa, sejak tadi, sejak pertama ia memasuki pemakaman ini lelaki itu hanya diam, memperhatikan Biru Langit yang begitu bahagia kala permintaanya langsung terkabulkan.

Biru Langit menatap sekilas ke Arkatama yang tersenyum, seolah menunggu dirinya untuk membaca puisi yang ia tulis untuk ibu.

"Ibu aku ke sini sama ayah, ayah baik bu, ayah menjaga dan mendidik aku dengan baik, hebat kan tentu dong! Tapi ibu jauh lebih hebat, meski aku enggak akan pernah tau ibu seperti apa, tapi aku yakin dulu ibu pasti sangat hebat dan sangat cantik, iyakan yah," Lekungan indah itu berhasil membuat senyuman juga di bibir Arkatama. Sebuah kalimat panjang yang terdengar begitu menusuk kedalam hatinya. Biru langit hanya nama itu yang selalu membuat Arkatama takut. Takut akan ada ombak yang mampu menghancurkan dermaga itu, meski sebenarnya ia ingin itu runtuh.

Bu... Apa kau tau? Aku sangat ingin di peluk oleh mu

Dada Arkatama terhentak begitu dalam saat bait pertama puisi itu tercetus  di mulut anaknya, lelaki itu menandah kedepan sedikit, menatap wajah imut yang begitu tampan. Si kecil yang rupanya sudah mengerti apa itu "Dewasa" sekecil yang diam diam menjadi luka dan rumah bagi Arkatama.

Aku ingin tau seperti apa senyuman mu.

Aku ingin tau seperti apa rasa nya di dekap begitu erat oleh mu

Bu... Aku Biru Langit, anak kecil yang selalu merindukan ibunya.

Bu Aku biru langit, Daksa yang rapuh karena satu sayapnya hilang.

Bu.. Untuk mu terimakasih sudah mengizinkan ku untuk tumbuh besar.

Bu untuk mu terimakasih telah hidup meski tak pernah ku tahu seperti apa kehidupan mu.

Ibu... Biru sayang ibu
Selamat bahagia dalam keabadian wanita tercantik.

Di sepanjang puisi itu di baca, hanya ada suara isak tangis dan rasa sesak yang menyelimuti keduanya, hanya ada semilir angin dingin yang menemani suasa hening itu. Tak ada dialog sesingkat apapun, mereka sama sama diam, hanyut dalam setiap kata di puisi sederhana yang nyatanya menumpahkan banyak air mata.

Arkatama mengepalkan tangan nya kuat kuat, sebelum Langit menangis lelaki itu sudah lebih dulu menangis.

"Ayah Langit kangen ibu," bisik Langit Saat tubuh kecil itu di tarik kedalam dekapan Arkatama.

"Ibu pasti cantik kan ayah?" tanya Langit.

"Ibu selalu cantik, dan kita akan selalu merindukan nya," balas Arkatama kecil dengan dekapan yang semakin ia perkokoh.

"Puisi untuk ibu ini sangat indah, semoga nanti langit bisa ketemu ibu dan peluk ibu erat,"

Kepala Arkatama menggeleng kecil, ia meletakkan wajah Langit ke ceruk leher nya, merengkuh tubuh kecil itu dalam dekapannya, soalah ia tidak mampu, tidak mampu melepas Langit sejauh itu.

"Apapun itu tolong jangan pernah pergi dulu," kata Arkatama dalam hati.

Typo tandain ya ges.

Makasih udah mampir

Krisar di sini ☞

Karawang 2024 .

BIRULANGIT | END | Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang