BAB 09 : SEBUAH KEJUJURAN

12 2 0
                                    

"Menyembuhkan rasa kecewa itu, butuh waktu yang cukup lama. Dan kamu harus menunggu nya, sampai mati sekalipun," Dr. Farrelio Margantara

∘₊✧──────✧₊∘

KARAWANG DESEMBER 2017
( LAST MOMENT)

"Jika nanti dia sudah tau, aku meminta untuk tolong jaga dia, gantikan peran ku dalam hidupnya, dan jangan biarkan dia kembali kepada sosok yang kejam ini," jelas seorang lelaki dengan sorot mata yang tidak bersemangat itu.

"Kenapa? Kamu akan meninggalkan nya?" tanya seorang lelaki lain yang duduk di depan nya, seseorang dengan baju dokter yang masih setia melekat di tubuh gagahnya itu.

"Dia pun akan menjadi dewasa, dia juga pasti akan mengerti, aku tak bisa terus terusan seperti ini, kamu tau akau membenci nya. Karena dia, aku jatuh miskin," urai lelaki itu dengan nada suara yang penuh dengan penekanan.

"Yang membuat mu miskin itu adalah keegoisan mu, bukan anak mu, tidak ada anak yang menjadi faktor kemiskinan," elak Dokter itu tidak Terima.

"Kalo benar? Apa yang akan kau lakukan, mereka itu memang hobby membuang buang uang dengan sesuka hati," katanya kekeh.

"Dia anak mu, sudah kewajiban mu membiayai hidupnya, dan soal miskin itu, itu karena ulah mu, bukan karena mereka. Berhenti menyalahkan anak sekecil itu, kalo memang kamu ingin hidup bebas, mengapa kamu memilih untuk menikah?"

"Saya menikah dengan wanita miskin,"

"Dia hanya miskin uang, bukan miskin hati nurani dan ilmu bangsat!"

Dokter itu membuang nafas nya dalam dalam, menahan diri untuk tidak tersulut emosi. Berbicara dengan orang keras kepala dan egois memang benar benar membutuhkan kesabaran setebal lapangan bumi.

"Saya rela di benci oleh nya," kata orang itu lirih.

Dokter itu menoleh kecil ke hadapan orang yang menjadi lawan bicaranya.

"Kamu memang berhak di benci," ketua Dokter itu, membuat empunya tersenyum hambar.

"Saya tidak mau, saat dia sudah dewasa, dia malah menjadi samsak pelampiasan amarah saya, saya tidak mau, meski saya membencinya," jelas lelaki paruh baya yang berpopesi sebagai seorang Dosen itu.

"Hati kamu itu terbuat dari apa? Keras sekali, sampai rasanya ingin saya tusuk dan saya buang,"

Di dalam sebuah kafe kecil, yang berada di pinggir jalan yang ramai itu, terlihat dia orang lelaki dengan propesi yang berbeda, yang tengah saling berhadapan. Melontarkan umpatan umpatan sarkatis yang benar benar menusuk kedalam ulu hati, berbicara soal rahasia di masa lalu, memang benar benar membuat mereka tenggelam dalam lautan amarah.

"Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar, dan saya takut, takut jika raga itu menjauh sangat jauh dari hidup saya,"

Tawa kecil terdengar menusuk di sana. Menambah kesan tenang yang tercampur dengan ketegangan.

"Kamu membenci nya, tapi kamu sendiri yang tidak mau kehilanga raga itu? Are you okay? " balas Sang Dokter, dengan gelengan kepalanya. Tidak habis pikir dengan jalan bicara nya pagi ini bersama Lelaki yang merupakan sahabat nya itu.

"Rasa kecewa akan selalu hadir kapan pun, dan menyembuhkan nya juga butuh waktu yang lama, mau tidak mau, saat rahasia itu berkoar di atas mega, kamu harus menerima konsekuensi nya, kamu harus menerima kekecewaan terbesar dari raga yang selama ini ingin salalu kau dekap, kamu tau? Manusia akan sangat benar benar kecewa, saat tau bahwa semua kebahagiaan nya hanyalah kebohongan,"

"Dia meresa bahwa dirinya di permainan oleh itu, dan dia tidak akan Terima. Jangan menutupi kebencian dengan kebahagiaan yang bohong, Tuhan tidak menyukai mu,"

Ia terdiam saat mendengar kalimat panjang dari sahabat nya, di salah kafe yang mulai cukup ramai itu, menjadi akhir dari pembicaran mereka.

Dokter itu berdiri dari tempat duduknya, begitu pun dengan dirinya.

"Saya akan melakukan tugas nya, tapi tidak akan sampai selama lamanya. Saat dia sudah tumbuh dewasa, akan saya biarkan dia mengenal dunia luar, sekali pun itu sisi gelap dunia, agar dirinya tidak mudah di bohongi lagi, kamu tau, di muka bumi ini, banyak jenis manusia jadi anak mu, perlu tau sejuta karakter dari manusia manusia yang ia temui nanti, dan terkahir, jangan salahkan aku, jika mata mu melihat, bahwa anak mu tidak lagi melihat mu sebagai sosok ayah,"

"Menerima kembali itu tidak mudah, apalagi sampai di bohongi bertahun tahun, tapi kamu harus ingat ini, bahwa anak mu, tidak akan membenci mu sama sekali, ia tidak akan melakukan itu,"

Ia tersenyum lagi, saat sahabat nya meyakinkan bahwa tidak ada rasa benci antara anak dan ayah, padahal nyatanya di sini, dirinya membenci sosok itu, tapi... Semua itu hilang, rasa benci yang begitu besar itu musnah kala mendengar kalimat panjang dari sahabat nya lagi.

Di pagi itu, tepatnya saat matahari sudah benar benar terbit percakapan serius itu selesai, keputusan yang mungkin akan berdampak besar itu berhasil tercetus kan di mulut nya.  Dan kini, yang lelaki itu takuti adalah sebuah keberan yang akan meruntuhkan segala mimpinya di semesta milik Tuhan.

"Jangan lupa untuk pulang, ke rumah,"

"Rumah ku anak ku sendiri

∘₊✧──────✧₊∘

Coba hitung, sudah berapa banyak kebaikan yang kamu lakukan?

Sudah berterimakasih kepada diri sendiri?

Di bulan Juni awal ini, semoga banyak kabar baik nya.

Do'ain cerita nya bisa terbit di mayor wkwkwk, ngarep dulu

Okee see youu

BIRULANGIT | END | Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang