01. APRICITY

689 20 2
                                    

"Sira, gue kayaknya gila deh."

Sira yang sedang membaca novel di perpustakaan dengan tenang pun lantas menoleh.

"Lo waras kok," ujarnya mengamati keadaan Amora dari bawah hingga atas.

Sementara Amora merasa gelisah. "Bukan itu. Tadi kan gue iseng cek, ya kali gue lihat garis dua. Harusnya kan cuman satu."

Otak Sira yang lemot ini semakin lemot mendengar ucapan sahabatnya. "Garis dua apaan sih, Mor? Yang jelas ngapa!"

"Ishh! Ini loh!" Kemudian Amora mengeluarkan tiga benda pipih yang  sejak tadi berada di saku rok nya. Sontak bola mata Sira yang tadinya lemot langsung bekerja dan kedua bola mata gadis itu terbuka lebar.

"ANJ-"

"Ssst. Jangan teriak bodoh, kita di perpus!"

Sira melepaskan tangan Amora dari mulutnya. Dia menatap ke sekeliling, setelah di rasa aman dia lantas merebut salah satu benda pipih itu. Sekitar satu menit Sira mengamati benda itu, bahkan dia mengetikkan beberapa kalimat di google. Sementara Amora telah berharap cemas.

Sira menarik napas. "Selamat lo bakal punya keluarga."

"Hah?" Giliran otak Amora yang lemot.

Sira pun menonyor kepala Amora. Itu adalah kali pertama dia menonyor kepala Amora, biasanya dia yang di pukul.

"Lu hamil, budu! Itu kan yang lo mau, punya keluarga? Selamat lu bakal punya anak."

"Kok bisa?"

Lagi-lagi sebuah jitakan mendarat di kepala Amora. "Seharusnya gue yang tanya! Kok bisa? Kapan? Siapa bapaknya?"

"Gue ga tahu."

"Hah?"

Raut Amora berubah panik. "Gue ga tahu, Sira. Beberapa hari ini badan gue lemes, trs pas ke apotek mbak-mbak nya malah nyuruh gue beli ini." Tunjuknya pada tiga benda pipih di tangan.

"Jadi lo pingsan tadi gara-gara lagi hamidun bukan karena maag? Keren!" Terawang Sira saat dimana Amora pingsan beberapa saat lalu, oleh karena itulah mereka tidak ke perpus bersamaan. Saat sadar, gadis itu justru membawa kabar mengejutkan.

"Gila Lo!"

"Lo yang gila! Bisa-bisanya hamil tanpa tahu kapan buat dan siapa bapaknya! Terus lo mau gimana? Mau lo gugurin tu anak?"

Mendengar kata terakhir sang sahabat membuat Amora lantas memeluk perutnya. "Meski gua ga tahu bokapnya, tapi ini anak gue. Mana ada ibu yang rela gugurin anaknya!"

"Ada, contohnya nyokap gue," ujar Ira santai.

"Gue gak!"

Ira memegang kepalanya, seketika dia merasa pusing. "Sekarang Lo sembunyiin tu benda, jangan sampe ketahuan kalau lu masih mau sekolah. Kemudian, ayo pulang."

.O.

Setibanya mereka di kost an, Amora dan Ira langsung merebahkan diri. Pelajaran matematika yang dilanjutkan olahraga ditambah kabar mengejutkan dari Amora membuat mereka berdua lelah.

"Aman ga ya sampe lulus?" Amora menatap platfon kost an dengan pikiran jauh menerawang masa depannya yang mulai kusut.

"Perut lo bakal membesar."

"Gue ga mau berhenti sekolah," ujarnya lirih.

Sira merubah posisinya menjadi duduk. Gadis itu meraih tangan sang sahabat. "Gue juga ga mau lu berhenti sekolah, karena lo teman gue satu-satunya di Biantara. Kita usahain lu bakal terus sekolah ya. Tenang aja, ada gue yang siap melindungi lo dan debay sebagai perisai dari bullyan orang-orang!"

Amora tertawa, dia mengusap perutnya. "Siap aunty!"

"By the way, lu ga mah nyari siapa bapaknya gitu?"

Amora mengedikkan bahu. "Males. Entar kayak di novel-novel, anak gue diambil sama bapaknya padahal gue yang susah-susah hamil."

Sira menepuk jidatnya. "Kebanyakan baca novel lu! Ok kalau itu yang lo mau, selain jadi aunty gue juga bisa jadi ayahnya. Gue ini multitalenta."

Ucapan sang sahabat membuat Amora tertawa. "Iya iya. Aunty Sira the best!"

"Sira gitu loh!"

Meski kabar yang mereka terima bukan lah kabar baik, apalagi Amora belum menikah. Mereka tetap saling melempar tawa seakan semua baik-baik saja.

Drrrt...drrt...

"Bentar ya Mor, bokap telpon."

Amora mengangguk, selepas kepergian sang sahabat keluar untuk menerima telepon, dirinya lantas beranjak untuk memasak.

Maklum, di tempat sekecil ini hanya dihuni oleh dia dan Sira. Mau tidak mau mereka berdua harus membagi tugas dalam mengurus keperluan sehari-hari. Biasanya untuk urusan memasak memang dirinya lah jagonya. Sira, sahabatnya itu hanya tahu untuk makan bukan untuk memasak.

Dia dan Sira adalah dua sahabat yang tanpa sengaja dipertemukan di Biantara High School. Status keduanya sebagai murid beasiswa prestasi tak ayal membuat mereka menjadi lebih dekat. Hal lain yang membuat mereka bisa berteman hingga sekarang adalah karena mereka sama-sama berasal dari panti asuhan. Hanya saja mereka berasal dari panti yang berbeda. Dirinya berada di panti asuhan Majanangun, sementara Sira berasal dari panti asuhan Martika.

Serta dua bulan lalu, secara ajaib Sira berhasil bertemu dengan ayah kandungannya. Alih-alih meninggalkan Amora, Sira lebih memilih untuk menolak ajakan sang ayah agar tinggal bersama. Sebenarnya sudah berkali-kali Amora membujuk Sira untuk tinggal bersama sang ayah dan berkata bahwa dirinya akan baik-baik saja sendirian. Akan tetapi, Sira terus menolaknya. Gadis itu memilih untuk tinggal menemani dirinya.

"Wihhh masak apa nih, harum banget!"

"Sambel tempe plus sayur asam. Kecewa neng?"

"Mana ada, lu cuman masak daun singkong tetangga pun bakal gue makan."

"Dasar kambing," ledek Amora

"Wkwkwkwk. Ada yang perlu gue bantu ga?"

"Gak gak, cukup gue aja. Kalau lu turun tangan bisa repot."

Wajah Sira sontak tertekuk masam. "Yaelah Mor, kan udh lama. Lagian gue ga sengaja."

"Ketidaksengajaan lo itu nyaris membuat kita berdua meninggal kebakaran." Amora menunjuk Sira dengan spatulan ditangannya.

Jelas sekali mereka tidak akan lupa. Meski sudah lima bulan lalu, aksi Sira yang nyaris membuat kost lama mereka kebakaran tidak akan terlupakan. Gara-gara Sira pula mereka berdua diusir dari kost lama dan terpaksa mencari kost baru.

"Hedeh...iye deh. Kalau gitu gue bakal dukung lo dari belakang aja. Semangat sayang!"

Amora hanya dapat menggeleng pelan. Sungguh kasihan calon anaknya memiliki tante masa depan seperti Sira.






────────

3.03.2024
Ada alasan kenapa aku buat cerita ini

APRICITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang