Suasana Mansion kediaman Jaehyun hari ini nampak ramai.
Beberapa kendaraan mewah juga terlihat terparkir rapi di halaman luasnya.Bukan tanpa alasan keramaian tersebut terjadi hari ini, karena saat ini keluarga besar mereka datang setelah mengetahui kabar tentang hilangnya Chiquita sejak beberapa hari lalu.
Bahkan orangtua mendiang istrinya juga hadir, mereka berdua datang dengan kesedihan yang tak bisa di bendung. Bagaimana pun, Chiquita adalah cucu kandung mereka, darah daging putrinya sendiri meski Rosé telah tiada.
Mengetahui gadis kecil itu hilang dan di nyatakan tidak selamat, bagaimana mereka tidak sedih. Apalagi jasadnya tidak bisa di temukan, jadi mereka bahkan tak bisa percaya dengan mudah jika Chiquita telah tiada tanpa bukti yang jelas.
"Cucuku yang malang.... Ya Tuhan... "
Wanita paruh baya itu menangis, di sampingnya sang suami merangkul bahunya erat. Wajah pria tua itu juga memperlihatkan kesedihan mendalam meski tidak menangis.
"Maafkan saya Ibu, saya tidak bisa menjaga putri saya dengan baik.
Ini terjadi karena kesalahan saya."Ucap Jaehyun dengan kepala sedikit menunduk, merasa bersalah di depan keluarga besarnya sekarang.
Jisoo yang setia berada di sampingnya mengusap punggungnya penuh perhatian."Berhenti menyalahkan diri, Jaehyun. Kita semua tak ada yang ingin hal seperti ini terjadi. Semuanya terjadi karena kehendak Tuhan."
Jaehyun menatap kakak lekakinya yang baru saja bicara dengan gelengan kecil.
"Tetap saja, aku bahkan tidak bisa menemukannya. Aku ayah yang tidak berguna, Hyung."
Taeyong berdehem, sang istri di sampingnya tersenyum tipis mengisyaratkan agar dia jangan bicara lagi. Kata-kata penghiburan tak akan mampu menenangkannya.
"Jika memang sudah pasti putri bungsumu meninggal, bukankah kita seharusnya mengadakan pemakaman? Setidaknya kita harus mendoakan agar dia tenang di alam sana Hyung."
Namun meski Taeyong diam, adik lelakinya kali ini yang bicara. Ucapannya cukup membuat mereka terkejut karena tidak disaring lebih dulu. Jaehyun sampai menatapnya sendu.
Adiknya itu memang cukup menyebalkan diantara mereka, ada beberapa hal yang membuat Doyoung bisa jadi seperti itu. Yang jelas, pria itu iri karena kakak-kakaknya bisa mendapatkan perusahaan orangtuanya dengan mudah di bandingkan dirinya yang harus bekerja keras sendiri.
"Doyoung." Tegur Taeyong, kurang suka melihat adiknya mulai bertingkah. Setidaknya jangan sekarang, waktunya tidak tepat.
"Apa yang salah? Bukankah jika ada yang meninggal kita memang harus menggelar pemakaman kan?"
Doyoung benar-benar tidak mengerti situasi, tidak juga memiliki hati nurani. Istrinya juga diam saja, tidak menegur dan malah santai minum teh hangatnya. Benar-benar pasangan yang cocok.
"Justru aneh, sudah jelas anakmu meninggal kau malah diam saj---"
"Adikku belum mati brengsek!"
Ucapan Doyoung terhenti ketika suara nyaring Rora terdengar dari belakangnya. Semua yang ada di ruang tamu cukup terkejut akibat ulahnya.
Rora terlihat berjalan cepat dengan kedua tangan terkepal. Wajahnya memerah menahan amarah, sangat kesal ketika tak sengaja mendengar ucapan-ucapan jahat pamannya sendiri.
Dia baru saja pergi dari taman belakang, tak ingin ikut berkumpul dengan kakak-kakak dan sepupunya. Mereka tak bisa membuat suasana hatinya membaik, jadi dia memilih untuk pergi ke kamarnya.
Namun tujuannya berbeda ketika tak sengaja menguping pembicaraan para orang tua di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
IM HERE, UNNIE...
Novela JuvenilBagaimana rasanya ketika kau ada tapi keberadaan mu tidak pernah di anggap ada? "Unnie, aku disini.... " Chiquita/Canny.