Malam ini, aku menginap di rumah Bibi Marie, Bibi ku yang tinggal di lereng pergunungan. Rumah ini sudah cukup tua, dengan lantai dan pintu kayu serta pepohonan rimbun di sekitarnya yang kadang membuat sanak-saudara enggan berkunjung.
Terkecuali aku, tentunya. Dari kecil, aku sudah dekat dengan Bibi Marie. Sebelum Paman Sam meninggal, dia berpesan untuk menjaga semua yang pernah Paman Sam berikan ke Bibi Marie. Salah satunya adalah, rumah ini.
Bibi Marie sangat menyayangi Paman Sam, oleh karna itu ia enggan bila dibujuk orangtua ku untuk pindah. Mau apapun yang ditawarkan, takkan membuat pendiriannya goyah. Hujan turun dengan derasnya malam ini, aku enggan untuk menyalakan televisi karna takut petir menyambar. Jadi, aku habiskan waktu sebelum tidurku untuk berbincang dengan Bibi Marie.
Bibi Marie memberiku susu coklat hangat, aku tersenyum. “Terimakasih Bibi”, Ia balas tersenyum. Lalu sedikit menengok ke jendela, suasana gelap di luar sana terkadang membuatku merinding.
“Saat sedang seperti ini”, Bibi ku mulai berbicara, ia masih melihat ke luar jendela. “Aku selalu teringat apa yang pernah terjadi padaku”. Seketika, aku penasaran.
“Ceritakan Bibi, ceritakan”, kata ku membujuknya. Ia memandangku lekat. “Sekitar sebulan yang lalu”, katanya sambil menengokkan kepalanya ke atas, mengingat-ngingat.
“Aku, malam itu, sedang merajut. Malam itu, sama seperti malam ini, hujan badai yang kencang, aku sempat merasa takut karna waktu itu aku sendirian di rumah”. Bibi ku menundukan pandangannya kebawah.
“Saat itu jam 11, aku sudah selesai merajut dan akan pergi ke kamar. Tapi, niat ku itu lenyap ketika samar-samar, aku mendengar suara ketukan di pintu depan..” Bibi melirik sedikit ke arah pintu yang ada di samping kanannya.
“Suaranya benar-benar halus, hampir tak terdengar. Awalnya, aku hendak mengacuhkannya karna kupikir itu hanya halusinasi ku saja. Namun, suara ketukan yang lebih besar terdengar kembali setelahnya, aku cukup takut, aku ingin kembali mengabaikannya tapi niat ku itu hilang ketika aku mendengar suara seseorang..”
“Apa yang dia bilang Bibi? Suaranya seperti apa?” Aku benar-benar penasaran, ku simak ceritanya, manik Bibi Marie sedikit menutup.
“ ‘Tolong kami, apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan’ ”
Bibiku menirukan suara itu, permintaan tolong itu. Aku mulai begidik.“Kupikir aku memang harus menolong orang itu, sesuatu di luar sana. Aku membuka pintu, dan ada dua orang, seperti pendaki yang terengah-engah, wajah mereka pucat, basah oleh air hujan.”
“Mereka pendaki gunung disini, Bibi?”
“Kelihatannya”, jawab Bibi “Aku mempersilahkan mereka masuk, kubuatkan mereka teh hangat dan kuberi mereka sepiring kue. Mereka terlihat sangat pucat, anehnya, mereka cepat sekali kering”. Aku merasakan dingin di area tengkukku.
“Setelah mereka makan dan minum apa yang kuberi, aku mulai bertanya soal mereka. Mereka hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan, kupikir mereka terlalu lelah, jadi, aku pergi ke kamar untuk mengambil beberapa bantal dan selimut, tapi…”
“Tapi?”
“Mereka sudah tidak ada, padahal aku tak pergi lebih dari 2 menit dari sana. Pintu luar terbuka lebar, angin membuat pintu itu menjadi bising, aku benar-benar terkejut saat itu. Cepat-cepat aku menutup pintu, mengunci nya dengan gembok dan slot yang ada. Aku merasa merinding, sungguh. Saat aku melirik ke arah meja tamu, aku melihat secarik kertas kecil yang diselip di piring yang sudah kosong. ‘Terimakasih atas makanannya dan kebaikannya’, itu yang tertulis di kertas. Aku takut, aku buang asal kertas itu dan lari ke kamar, paginya, aku tak melihat kertas itu lagi, lenyap, bersama badai yang pergi saat malam…”
“Aku tak menghiraukan itu semua, awalnya aku ingin melupakan kejadian malam hari itu dan menjalani hari-hari tenang seperti biasa. Jadi, kunyalakan televisi dan melihat siaran memasak. Namun, siaran itu terpotong oleh breaking news yang rupanya berasal dari daerah sekitar sini, kota ini.”
“Aku menyimak beritanya, dan aku benar-benar terkejut, ada dua pendaki yang hilang dan ditemukan dalam keadaan meninggal oleh polisi hutan saat malam itu, malam aku menerima tamu aneh itu. Dan saat aku melihat foto mereka, aku benar-benar yakin itu mereka! Mereka sangat mirip dengan foto yang ada di berita! Oh astaga Ariana, dan kau tahu apa bagian terseram dari semua ini?”
Aku mengangguk lemas, aku takut, tapi aku benar-benar penasaran.
“Mereka ditemukan oleh polisi hutan sekaligus malam saat mereka bertamu ke rumahku pada tanggal 16 Agustus. Sementara, pihak rumah sakit bilang, mereka sudah tak bernyawa dua hari sebelumnya, tanggal 14 Agustus. Kau percaya hantu, Ariana? Aku tak tahu yang bertamu di rumahku saat malam itu disebut hantu atau bukan.”Keadaan jadi begitu sunyi dengan suara hujan yang semakin deras.
Bibi Marie bangkit dari kursi dan berjalan ke arahku, melihat kalender,
“Sekarang tanggal 16 September, wah, kenapa bisa kebetulan seperti ini ya? Ayo tidur sayang, aku tau kau ketakutan, maafkan aku”, ucap Bibi Marie dengan senyum kecil. Aku mengangguk, berjalan disamping Bibi Marie ke kamar, kami ingin istirahat.Namun, derit kayu yang terinjak di luar serta ketukan keras terdengar,
“Tolong kami! Apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan!”