Sudah 3 tahun ini aku bekerja sebagai apoteker semenjak aku lulus dari studi profesi universitas ternama di kotaku. Tak hanya bekerja sebagai apoteker aku juga gemar mendokumentasikan dan mengulas kuliner di kotaku, mungkin bahasa kerennya sekarang disebut food blogger.
Aku sudah mencoba hampir semua makanan terbaik di kota ini, mulai dari ujung utara sampai selatan, dari ujung timur sampai ke barat. Tapi hanya ada satu menu makanan favoritku di kota ini. Adalah rawon yang dijual di dekat tempat kosku. Ya, setiap kali pulang kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir dan menikmati sepiring rawon sebagai penutup hariku. Walaupun tempatnya selalu ramai dan penuh sesak orang, aku rela antri menunggu lama untuk dapat menikmatinya. Rawon yang kuahnya hampir tumpah ketika disajikan ini selalu menjadi pengisi perut kosongku saat pulang kerja. Kombinasi rempah dan kaldu yang kental membuat siapapun yang menyeruput kuahnya langsung jatuh hati pada hidangan yang satu ini. Apalagi saat disajikan rawon ini dalam keadaan hangat dan berasap, tanda bahwa rawon ini selalu dipanasi setiap saat.
Uniknya adalah terdapat 2 jenis daging yang disuguhkan, yaitu daging kotak seperti rawon biasanya dan yang satunya daging lembaran. Mungkin semacam baccon tapi ini lebih sedikit tebal, ya sebelas dua belas dengan empal gitu lah. Tapi begitu digigit, disinilah letak kehebatan rawon ini. Dagingnya lembut, gurih dan juicy ! Teksturnya unik seperti gabungan antara daging sapi dan paru sapi. Empuk paru sapi digabung dengan rasa gurih daging, terbaik lah intinya.
Tapi ada satu hal yang membuatku jengkel. Yaitu seorang pelanggan yang selalu datang malam hari pas sebelum apotek tutup. Gara-gara dia terkadang aku jadi tidak kebagian makan rawon karena sudah habis. Tapi sebenarnya aku kasihan juga dengannya, pernah aku berbincang dengan pria itu ternyata istrinya sedang sakit. Dia hanya bisa pergi ke apotek malam hari karena di siang hari dia harus terus bekerja dan merawat istrinya. Dan waktu malam pula istrinya sudah tertidur pulas. Di apotek tempatku bekerja tidak seperti apotek tempat lain, disini kalian belanja obat-obatan seperti belanja di mini market. Jadi kalian ambil semua kebutuhan yang kalian perlu lalu dibawa ke tempat kasir dan sekaligus apoteker.
Aku mengawasi pria itu dari tempat kasir, “Cepat lah kau brengsek! Aku sudah lapar ini” gumamku dalam hati. Dalam hitungan detik emosiku sudah memuncak “Ah sudah cukup, gara-gara kau! Sudah dua hari ini aku selalu kehabisan rawon. Aku tidak mau lagi kehabisan rawon! Tidak apa lah untuk hari ini aku tidak makan rawon, tapi mulai besok dan seterusnya aku bisa dengan leluasa pulang tepat waktu dan menyantap rawon favoritku itu,” dalam batinku.
Aku masuk kedalam tempat penyimpanan obat dan peralatan medis. Sarung tangan karet, masker, obat-obatan dosis tinggi aku masukkan dalam tas kecilku. Oh dan tak lupa pisau bedah juga kumasukkan dalam tasku. Aku kembali ke tempat kasir dan ternyata pria itu sudah menungguku di depan meja kasir.
“Maaf pak saya baru selesai merapikan tempat obat-obat di dalam, belanja seperti biasanya kah?”
“Ya begitulah, tolong segerakan ya. Aku ada pekerjaan di rumah malam ini, biar cepat menyelesaikannya.”
“Baiklah pak,” aku tersenyum manis kepadanya. Dan pria itu berjalan keluar dari toko. Dengan cepat aku mematikan semua lampu dan mengunci pintu-pintu di apotek. Saat menutup rolling door aku masih bisa melihat pria tadi berjalan dari kejauhan.Aku membuntuti pria itu dari kejauhan, berjalan di trotoar pinggir jalan sendirian. Maklum lah jam waktu itu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam, jadi hanya satu dua orang yang lewat. Kendaraan bermotor pun sudah hampir tidak ada yang lewat. “Mendukung sekali suasana ini,” kataku dalam hati. Redupnya lampu kota memudahkanku mengikutinya secara diam-diam.
Hingga sampai pada suatu jalanan yang aku kenal. “Ini kan jalanan menuju kosku,” aku mulai khawatir, takut ternyata orang itu adalah tetangga dekat kosku. Yang mengagetkan adalah ternyata pria itu berbelok menuju tempat penjual rawon yg aku gemari. Waktu itu tempat penjual rawon sudah sepi dan tutup. Lalu pria itu masuk melalui pintu belakang depot. “Ah sial, apakah pria itu pemilik rawon ini ya? Jika aku membunuhnya nanti malah bikin tempat ini tutup. Jika tempat ini tutup berarti aku sudah tidak bisa menikmati rawon lagi,” sejenak aku diam dibalik tempat sampah besar belakang depot.
“Ah mungkin dia hanya bekerja disini, tidak mungkin pemilik rawon ini hidup disini juga. Mengingat setiap hari pelanggannya penuh sesak pemilik rawon pasti kaya raya dan hidup di rumah mewah,” aku meyakinkan diriku untuk masuk melalui pintu belakang. Rencanaku adalah meracuni pria itu dengan obat-obat dosis tinggi yang sudah aku siapkan dalam bentuk serbuk. Sedangkan pisau bedah ini hanya untuk jaga-jaga atau plan B ketika situasi sudah tak terkendali. Dengan sangat pelan dan waspada, aku masuk melalui pintu belakang. Ternyata itu tempat gudang penyimpanan beras dan bahan-bahan masakan. Lampu gudang juga kondisi mati, jadi aku bisa leluasa bergerak tanpa sembunyi-sembunyi.
Akhirnya aku sampai di pintu yang terdapat jendela tembus pandang dibagian tengahnya. Tapi aku tidak berani membuka pintu itu karena terlihat cahaya di ruangan sebelah masih nyala, mungkin pria tadi ada di ruangan sebelah ini pikirku. Dengan posis berjalan menunduk, aku coba mengintip melalui lubang kunci pintu tersebut.
Terlihat pemandangan dapur rumah makan pada umumnya, banyak peralatan masak tertata rapi. Dan disana ada satu panci besar yang ternyata sedang dipanasi, terlihat api menyala dari bawah panci itu. Tak lama pria tadi muncul dari balik pintu di sebrang, terlihat dia langsung sibuk memasukkan bumbu-bumbu dan mengaduknya di panci. Aku langsung lesu dan lemas, tenyata targetku adalah juru masak rawon favoritku selama ini. Jika kubunuh dia, mungkin tiada lagi rawon lezat yang selalu kunikmati nanti. Niat jahatku langsung hilang, tapi aku masih disana melihat proses pembuatan rawon favoritku. Pria itu masuk lagi ke pintu sebrang, sedikit agak lama akhirnya dia kembali ke dapur.
Tapi saat pintu sebrang terbuka, mataku melotot melihat pemandangan mengerikan yang membuat seluruh badanku bergetar. Seorang wanita gendut diatas kursi roda yang seluruh tubuhnya penuh dengan luka kering yang sudah membengkak. Mulai dari leher, tangan, kaki seluruh anggota tubuh bagian bawah kepala penuh luka-luka yang sudah menghitam. Kalian tahu kan bagaimana bentuk luka yang sudah mengering? Yaitu darah kering, yang biasanya kalian cabuti dari kulit bekas luka. Iya, seperti itu. Hanya saja kali ini bentuknya tebal dan memenuhi seluruh tubuh.
“Apakah ini istrinya yang diceritakan sakit selama ini?” Pikirku dalam hati. Lalu pria itu mendorong kursi roda istrinya mendekati panci. Pria itu kemudian menggeluarkan pisau dan jongkok di dekat istrinya. Aku kira sedang apa, ternyata dia memotong luka-luka besar itu lalu menaruhnya diatas nampan di meja. Darah segar langsung keluar dari bekas luka yang habis dipotong itu. Merah bercampur nanah yang sebelumnya terpendam dalam luka. Seperti sedang panen, pria itu cekatan memotong habis luka berwarna hitam yang kenyal itu. Lalu setelah ditumpuk diatas meja, luka tadi dipotong kotak-kotak.
Terlihat juice putih keluar lumer dari luka yang dipotong itu. Dan beberapa luka yang masih tipis dibiarkan tidak dipotong, hanya dibikin lebih pendek saja. Setelah semua potongan luka itu diberi garam dan jeruk, lalu dimasukkan kedalam panci besar tadi. Plung plung plung! Suara bahan masakkan tadi saat jatuh ke dalam panci. Setelah itu pria tadi mengambil gelas dia memanen darah segar dan nanah yang mengalir dari tubuh istrinya. Setelah itu dia seperti mengocok telur. Campuran darah, nanah, dan ramuan rempah dikocok dalam gelas. Dimasukkan lah sebagai kaldu penyedap dalam rawon. Semakin mengepul dan kental ramuan pria itu dalam satu wajan.
Gila, benar-benar gila pemandangan yang baru saja aku saksikan. Dengan cepat pria tadi membuka bungkusan kresek berisikan obat-obat yang dibeli di apotekku tadi. Wanita itu hanya diam saat suaminya mengobati seluruh luka yang telah dipanen. Pantas saja dia selama ini membeli obat untuk mengeringkan luka dan penambah darah. Tubuhku berkeringat, perutku terasa mual diaduk-aduk. Rawon yang selama ini aku makan ternyata dagingnya terbuat dari luka itu tadi. Kuah rawon yang kental selama ini adalah campuran darah dan nanah. Tapi aneh, mulutku seperti berliur ketika melihat adegan memasak tadi. . .
Besoknya, aku sudah menyiapkan satu bungkus obat-obat yang biasa dibeli pria itu. Jadi ketika dia datang, aku bisa langsung memberikannya. Lalu aku bisa tutup apotek dengan cepat dan menuju tempat makan favoritku tanpa ada yang menghambat lagi.
Hmmm harum rawon khas yang aku cintai. . .
Ckrek !! Tak lupa aku upload fotonya di akun food bloggerku.
Dan sendok demi sendok aku nikmati malam ini.