“Mama!”
Putriku yang berumur 6 tahun menerjang masuk ke ruang kerjaku dan menarikku dari kertas-kertas laporan kerja yang sedang kukerjakan.
“Ada apa, Sayang?”
“Gigiku akhirnya lepas!” ia mengeluarkan tangannya dan menunjukkannya kepadaku.
Merasa bersalah karena mengabaikannya seharian karena pekerjaanku ini, akupun menyingkirkan kertas-kertas itu, “Wow Sayang, itu luar biasa! Mana Mama lihat! Ini gigi pertamamu?”
“Iya dong!” dengan bangga ia membuka mulutnya lebar-lebar dan menunjukkan celah dimana giginya tadi sebelumnya berada.
“Kamu sudah besar ya sekarang, Sayang.” Pujiku,
“Yap, dan aku akan memberikannya ke Peri Gigi besok.”
“Peri Gigi?” tanyaku heran dalam hati. Aku bukan orang tua tradisional yang mengisi pikiran anak-anak mereka dengan tokoh rekaan seperti Kelinci Paskah atau Santa Claus. Jadi darimana dia dengar tentang Peri Gigi?
“Peri Gigi itu tidak ada, Sayang. Teman-teman di sekolah ya yang memberitahumu?” selidikku.
“Ada kok, ma. Peri Giginya namanya Miss Martha dan dia berjanji akan memberiku 10 dolar untuk satu gigi.”
Aku tahu itu! Miss Martha adalah janda yang tinggal di sebelah rumah kami. Kami selalu memintanya menjaga anak kami saat kami pergi bekerja. Aku harus berbicara kepadanya malam ini tentang hal ini.
“Hmmm... bagaimana kalau giginya kamu buang saja, Sayang?”
Anakku dengan tegas menggeleng, “Nggak mau! Aku mau 10 dolar!”
“Kalau begitu titipin saja ke Mama. Nanti biar Mama kasih ke Miss Martha.”
Ia menatapku penuh ragu, namun akhirnya ia menyerahkan tanggalan gigi itu kepadaku.
Selepas anakku tidur, aku pergi mengetuk pintu rumah Martha. Sudah jam 20.45 malam sekarang, mungkin dia sudah tidur. Namun pintu akhirnya mengayun membuka.
Ia menyapaku dengan ramah dan kami berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya aku menginjak inti permasalahan.
“Martha,” kataku, “Peri Gigi itu tidak nyata dan aku akan sangat menghargai jika kau tidak lagi menceritakan tentang omong kosong itu kepada anakku.”
“Oh, tapi Peri Gigi itu benar-benar ada...”
“Tidak, itu tidak ada!”
Aku malas berdebat dengannya sebenarnya malam-malam begini. Mataku menyelinap ke dalam rumah. Dari balik Martha aku bisa melihat foto mendiang suaminya di atas meja dengan sebuah toples kaca besar yang ditutupi dengan kain flanel berenda. Entah apa isinya, tapi pasti penting mengingat benda itu diletakkan di ruang tamu seperti itu.
“Iya benar. Ada kok. Dan sebaiknya kamu berikan gigi itu kepadaku...”
“Gigi? Gigi anakku? Aku sudah membuangnya.” Aku berbohong.
“Tuh,” dia menunjuk ke arah sakuku, “Aku tahu kau menyimpannya di sana. Aku bisa menciumnya.”
“Menciumnya? Apa-apaan...”
“Ayolah,” ia mengeluarkan uang 100 dolar dari sakunya, “Kubayar dengan ini. Biarkan aku memiliki gigi itu...”
“Aku nggak akan memberikannya, dasar aneh! Dengar, aku tak mau kamu menjaga anakku lagi...”
“Oh kurang ya, kalau begitu berikan ini sebagai gantinya...”
Tiba-tiba ia menarik salah satu giginya sekuat mungkin. Gigi itu langsung terlepas, diikuti darah yang mengalir dari mulutnya, turun membasahi dagunya, hingga menetes ke lantai.
“Ayo terima, ini salah satu gigi favoritku...”