‘Klak!’
“Hei! Itu coklat milikku!” teriak anak laki-laki berbadan kurus dan memakai kacamata, Joan.
“Salahkan saja dirimu yang membuat kita tersesat di hutan selama dua hari. Aku tidak mengerti mengapa ibu memberiku adik seperti dirimu.” Sahut anak laki-laki lainnya—Andrian—yang berbadan lebih besar dan tinggi dengan rambut model cepak dan membawa ransel hijau lumut di punggungnya. Mulutnya kembali mengunyah coklat batangan setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Joan merengut, pandangannya dialihkan ke arah tanah.
“Maaf… ini semua karena rasa penasaran yang menang dari kepatuhan akan peringatan ayah dan ibu. Aku sendiri—“ suaranya terhenti seketika. Ia melihat ke arah batu besar di hadapan mereka. Batu besar yang sekiranya sudah mereka lewati tiga kali sejak kemarin.
“Sial!” seru Andrian, yang sepertinya satu pikiran dengan Joan. “Hutan apa sebenarnya ini! Apakah kita sudah pindah dari bumi dalam waktu 48 jam, hah?” Andrian tak kuasa menahan emosinya. Perut lapar dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Hutan aneh yang seakan tak ada jalan keluar. Semua berpadu dalam keharmonisan emosi yang membuat dirinya geram. Konyol, hanya itulah yang ia pikirkan. Sebagai anak yang selalu mendapat beasiswa di sekolahnya, ia membenci hal-hal irasional.
Mereka terus berjalan, dengan bekal kompas yang sepertinya rusak. Andrian memeriksa kembali handphonenya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kepemilikan sinyal. Benar-benar beruntung, batin Andrian.
Joan melihat ke sekitar. Hanya ada pohon-pohon tinggi, bebatuan besar, dan tanah yang dipijaknya. Ia bahkan tidak mengetahui jenis-jenis dari pohon besar itu. Sesungguhnya, Joan dan Andrian bergabung dengan klub pecinta alam, tapi bahkan mereka tidak mengetahui, alam apa yang sekarang sedang mereka pijak. Ini memang kesalahan besar, pikir Joan. Seharusnya ia tidak menyepelekan nasihat orang tuanya. Seharusnya ia juga tidak memaksa Andrian menuruti keinginan di hari ulang tahunnya itu. Yeah, kemarin adalah hari ulang tahun Joan.
Joan menyesal karena telah membohongi orang tuanya. Ia tahu, dirinya adalah anak paling nakal sejagat raya. Ia berkata akan mengikuti kegiatan dari klub pecinta alam di sekolah mereka, namun pada kenyataannya, kegiatan itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya ingin pergi ke tempat yang seumur hidupnya selalu dilarang oleh orang tuanya. Tempat itu bernama “Hutan Lupa.” Rumor hanyalah rumor, pikir Joan. Belum tentu rumor yang dikatakan orang lain adalah benar. Untuk alasan itu, ia membuktikannya sendiri.
Kakak beradik itu berjalan tanpa tahu arah. Joan beberapa kali meminta untuk beristirahat dikarenakan punggungnya terasa sakit.
“Kau sudah membawa peralatan paling ringan!” bentak Andrian. “Jangan manja, lihat saja tas punggungku, ukurannya 3 kali lipat dibandingkan kau.” Andrian berputar untuk menunjukkan tas berisi peralatan kemah, termasuk tenda dan alas tidur. Terlihat seperti punuk unta, pikir Joan menahan tawa. Tidak mungkin ia tertawa. Tidak setelah ia berkali-kali membuat ulah yang melibatkan Andrian dan membuatnya kerepotan.“Tunggu!” raut wajah Joan terlihat serius sekarang. “Aku mendengar sesuatu… seperti… air?” Joan sendiri meragukan pendengarannya, namun di hutan yang terasa semakin gelap ini, panca indra adalah senjata utama untuk bertahan.
Joan mulai berlari, mencari di mana titik suara tersebut kian terdengar, Andrian juga secara tak sadar mengikuti Joan. Mereka terus berlari, tanpa berbicara sepatah kata pun, hingga pemandangan menyajikan sebuah danau.
Danau biru, dengan air terjun di sisinya. Bebatuan besar dan… beberapa sosok yang membuat kedua kakak beradik itu menelan ludah.
Kakak beradik itu berhenti serentak, Joan tertegun, dan bergerak mundur. Seketika itu pula, sosok-sosok tadi melihat ke arah mereka. Bagi Joan, sosok itu tampak seperti putri duyung—dengan tubuh bagian kepala hingga perut yang menyerupai sosok wanita berambut panjang serta tubuh bagian bawah yang menyerupai ekor ikan berbias cahaya sehingga menimbulkan kemilau pelangi di sisiknya.