Bayiku amat sempurna. Semua orang mengatakan dia amat mirip denganku. Kami membawanya pulang dari rumah sakit ke kamar barunya yang baru saja kami cat. Ia menghabiskan minggu-minggu berikutnya dengan makan (minum ASI sebenarnya) dan tidur. Sedangkan kami, yah, kekurangan tidur tentu saja. Kami kelelahan, namun bahagia.
Dia berumur sekitar delapan bulan ketika istriku datang ke dapur saat aku tengah menyiapkan sarapan. Wajahnya terlihat aneh. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Aku menanyakan apakah ia baik-baik saja.
“Ada yang aneh dengan bayi kita,” ucapnya.
Aku segera meletakkan panci penggorengan dan berlari ke kamar anak kami. Ia masih berbaring di atas ranjangnya sambil menendang-nendangkan kaki gemuknya ke udara dan menatap mainan yang digantung di atasnya. Ketika ia melihatku, mulutnya melebar dan ia tertawa. Aku mengangkatnya dari atas ranjang bayi dan menoleh ke arah istriku yang berdiri di ambang pintu.
“Ia terlihat baik-baik saja. Ada apa memangnya?”
“Di... dia...” istriku terbata-bata, “Dia mengatakan sesuatu. Ia berbicara...”
Aku menatap bayi yang berada dalam dekapanku. Ia bahkan belum bisa menegakkan kepalanya untuk menatapku.
“Dia pasti hanya menggumamkan sesuatu dan kau salah mengiranya sebagai sebuah ucapan,” namun istriku tidak bereaksi, “Apa memangnya yang dia katakan?”
“Anak iblis,” ia tampak ragu, “Dia mengatakan ‘anak iblis’.”
Aku tak bisa menahannya. Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Namun aku berhenti ketika melihat wajah istriku berubah menjadi marah.
“Jangan marah... maksudku, dia bisa saja sedang tertawa seperti “haha hihi” dan kau mendengarnya seakan dia mengatakan ‘anak iblis.’ Ayolah... anak kita kan bukan Damien Omen?”
Ia meninggalkan kamar anak kami dengan wajah kecut. Akupun mengikutinya sampai ke lorong. “Hei, kenapa kau begitu kesal soal ini?”
Aku membalikkan tubuhnya ke arahku, “Karena dia...” ia menunjuk ke arah bayi kami yang sedang kugendong, “Melihat tepat ke arah dan jelas mengatakan bahwa dia iblis! Perkataannya sungguh jelas. Aku tak mungkin salah dengar!”
Ia lalu membanting pintu kamar tidur tepat di depanku.
Segala sesuatu menjadi semakin buruk semenjak itu. Ia mendengar bayi kami mengatakan banyak hal buruk. Namun itu hanya klaimnya. Semua kejadian itu hanya terjadi ketika dia sedang berduaan dengan bayi kami. Ia akhirnya berhenti merawat bayi kami. Ia menolak memberinya makan, menggendongnya, atau bahkan hanya berada dekatnya. Akhirnya ia mengalami mental breakdown. Hal itu benar-benar tak bisa dihindari. Ia berhenti makan, berhenti tidur. Hingga suatu pagi aku menemukannya di kamar mandi. Tubuh kakinya terbenam dalam bathub yang terisi penuh dengan air dan darah.
Setelah polisi pergi dan jenazahnya dibawa untuk otopsi, aku pergi ke kamar anakku untuk menidurkan bayiku. Aku mengeluarkan speaker kecil yang kusembunyikan di dalam onesie-nya (pakaian bayi). Aku menatap ke mainan yang bergantung di atas tempat tidur bayiku. Ada kamera di dalamnya. Semua itu sangat mudah, menyesuaikan kata-kata yang kuucapkan dengan gerakan mulut bayiku. Aku kemudian turun untuk menelepon pacarku.
“Halo? Ya, Sayang... semua sudah selesai.”