Aku adalah seorang perawat yang bertugas home care di sebuah keluarga. Tugasku merawat seorang anak bernama Max yang daya tahan tubuhnya cenderung lemah sejak lahir. Max adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga tempatku bekerja, keluarga Alexis. Lima saudaranya yang lain adalah perempuan. Keluarga yang cukup besar dan sampai saat ini cukup bahagia, kurasa.
Tuan Alexis sendiri adalah seorang pengusaha yang tergolong sukses, namun itu membuatnya jarang berada di rumah. Ia juga yatim piatu sejak kecil karena sebuah peristiwa yang menewaskan seluruh saudara dan anggota keluarganya. Nyonya Alexis adalah ibu rumah tangga yang baik.
Anak-anak perempuanya juga tidak nakal seperti kebanyakan anak seumuran mereka, walau terkadang suka menjahili satu sama lain. Max, anak bungsu berusia delapan tahun. Tubuhnya sangat ringkih, dan sangat mudah sakit.
Tugas home care kujalani sejak setengah tahun belakangan. Dua jam di pagi hari untuk mengurus segala yang kiranya dibutuhkan oleh klienku, Max. Dan juga dua jam di sore hari. Waktu selebihnya aku masih harus bekerja di sebuah klinik di pusat kota.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul tujuh lewat, sedikit terlambat untuk jadwal pagiku yaitu jam tujuh tepat. Rumah keluarga Alexis cenderung jauh dari rumah-rumah yang lain. Suasana rumah itu sedikit janggal, lampu depan dan juga lampu taman masih menyala.
Aku segera berlari menuju pintu depan, aku memang diberi kunci duplikat untuk jaga-jaga. Dan, benarlah, aroma kematian menyambutku begitu kubuka pintu utama. Setengah berlari aku menuju kamar Max, melewati beberapa kamar yang pintunya terbuka, Max berada di ranjangnya, meringkuk dan bergelung selimut.
Sempat kulihat di seberang kamar Max, kamar si sulung Amelia, pintunya terbuka menampakkan sosok mengenaskan gadis remaja berbaju putih yang kini nyaris berwarna merah keseluruhan, keadaan yang tak jauh berbeda dengan kamar-kamar yang kulewati tadi. Kubawa Max dalam rengkuhanku dan kami segera keluar rumah, menelepon polisi dan ambulance. Tuan Alexis yang berada di luar kota segera kukabari.
Esok harinya, saat Tuan Alexis tengah menenangkan Max yang terus menangis sejak semalam, aku datang membawa makanan kesukaan Max. Dia untuk sementara dirawat di klinik tempatku bekerja. Ada beberapa luka di tubuhnya, luka lebam, luka memar dan luka semacam goresan dan sayatan. Ia berkata, kalau ia dijahili oleh kakak-kakaknya hingga terjatuh dari tangga. Dan ia terus menyalahkan dirinya sendiri.
"Sudahlah Max, beruntunglah kamu, psikopat gila itu tak menghabisimu," mungkin aku berkata sedikit kasar, tapi bagaimana lagi, seluruh anggota keluarga yang ada di rumah malam itu, tewas mengenaskan kecuali Max. Sepertinya mereka dihabisi saat terlelap tidur.
"Kau sok tahu Martha," bisik Max sambil menatapku tajam.
Sedikit terkejut dengan reaksinya itu, aku menatap Tuan Alexis. Beliau hanya tersenyum membalas tatapanku.
Tuan Alexis terus tersenyum dan mengusap kepala Max.
Aku segera minta izin untuk keluar ruangan, saat menutup pintu masih kudengar bisikan Max pada ayahnya.
"Mana mau aku membunuh diriku sendiri, lagian aku juga tidak gila."
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya bukan?" bisik Tuan Alexis yang masih bisa kudengar.
Astaga!!