“Halo, apakah ini Bapak Henderson?”
Sebetulnya tidak ada alasan saya untuk menjawab panggilan itu. Bahkan app di handphone saya sudah menunjukkan kalau itu adalah private number. Tetapi sudahlah. Toh sudah lama tidak ada yang bisa saya berbicara sekarang ini. Bahkan berbicara dengan kreditur pun kelihatannya menarik.
Saya sudah lama tidak berkomunikasi secara langsung dengan orang. Semenjak istri saya terbunuh di tahun 2015. Semuanya hanya karena sebuah perampokan. Di malam itu, satu pemuda bajingan menyelinap rumah kami. Pemuda itu menembaknya.
Pelaku berhasil ditangkap dua hari kemudian. Dipenjara seumur hidup. Hingga hari ini dia masih ada di dalam penjara.
Saya sendiri bekerja sebagai Web developer semenjak kepergian istri. Saya kerja secara remote, jadi sangat cocok dengan keinginan saya yang tinggal sendirian tanpa diganggu siapapun. Saya yang sekarang ini tidak punya teman lagi.
“Cari Pak Henderson yang mana?” tanya saya sambil duduk di kursi dengan sebotol anggur. Hari itu sedang hujan badai. Angin kencang bertiup di luar.
“Uhhh… Arthur Henderson,” jawab perempuan itu. Suara perempuan itu sangat familiar. Suara yang tenang dan cantik. Tetapi saya rasa ini pasti pengaruh alkohol dari minuman anggur saya yang sudah saya habisi setengah botol.
“Maaf, Bu.. Tetapi Arthur Henderson sudah meninggal enam tahun lalu,” jawab saya agak jengkel karena buruknya sistem pencatatan di perusahaan itu.
Dia terdiam sebentar.
“Ya ampun… Di sini tidak tertulis begitu. Maafkan saya Pak. Kami tidak menyadarinya. Bolehkah kami coba cek sebentar?”
Terdengar suara lemari kabinet dibuka. Lalu terdengar sedikit suara statis. Saya rasa, perempuan itu pasti menjepit telepon ke pundaknya sambil sibuk mencari data di kabinet. Saya tersenyum kecil sedikit membayangkannya.
“Oh gak apa-apa. Tidak usah khawatir. Bagaimana kalau kamu sambil perkenalkan dirimu dulu?” tanya saya, sambil di dalam hati memarahi sendiri karena mencoba pdkt di saat seperti ini.
Dia tertawa. Cara tertawanya sangat familiar. “Nama saya Emily. Dan saya kerja di perusahaan kredit. Sayangnya kami tidak bisa menyebutkan nama perusahaan kami karena Anda bukan nasabah kami. Kamu baru saja mengakuinya…”
“Baiklah..”
“Jadi saya tebak, kamu adalah putranya bapak Arthur Henderson?” tanya dia sambil memilah-milah kertas.
“Ya Bu. Tetapi ini sudah lama sekali.. Seharusnya saya tidak berurusan dengan utang orang yang sudah tiada lama bukan?” tanya saya penuh harap.
“Um, mari kita coba cek,” masih terdengar dia mencoba membuka-buka buku di ujung telepon.
“Maaf Pak,” jawab dia dengan nada menyesal. “Aturan terkait ini ada di salah satu binder, jadi agak susah dicari. Harap tunggu sesaat.”
“Okay tidak masalah. Saya tidak tahu hari ini masih ada orang yang menyimpan catatan dalam bentuk kertas.. Apakah saya akan mendapat email konfirmasi terkait tagihan ini?” tanya saya.
“Maaf?”
“Email tagihan..”
“Email?”
“Ya.. Email.. Surat elektronik.. Konfirmasi tagihan?” tanya saya ragu, yang dari bingung menjadi frustasi. Ada apa dengan perempuan ini? Dia tidak tahu email itu apa?
“Kami belum melakukan ini di sini… Mungkin tunggu beberapa tahun lagi baru pakai teknologi itu,” jawabnya. “Namun anda harus tahu, menunggak pembayaran merupakan masalah serius. Penunggakan bisa mempengaruhi rating kredit individu, apabila tidak sesegera dibayar.”
“Ok, ok, tentu.” jawab saya, yang mulai gundah dan khawatir. “Apa yang bisa saya lakukan?”
“Apakah istri Pak Arthur Henderson ada?” tanya dia.
“Sudah meninggal di tahun ’06”
“Maaf, tahun berapa? Uh saya sepertinya sial campur malang.”
Sungguh aneh! Kata-kata itu. Cara dia mengatakannya. Tidak banyak orang yang menggunakan kata frasa itu. Tetapi begitu dia mengucapkannya, memori saya langsung tergenjot.
Istriku bekerja di perusahaan kartu kredit sebelum kami bertemu. Namanya Emily. Suaranya mirip dengan penelepon itu. Hanya saja wanita di telepon terdengar lebih muda. Lebih semangat dari yang saya ingat.
“Apa nama belakangmu?” tanya saya.
Sunyi..
“Begini, saya tahu ini pertanyaan aneh. Tetapi aku mohon, saya rasa kita saling kenal.”
“Saya tidak bisa memberikan informasi itu…” jawabnya.
“Okay. Kamu sekolah di SMA Jefferson Memorial bukan?”
“Ya…” jawabnya terkejut. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
Luar biasa! Emily sudah meninggal. Suara di telepon mirip dirinya. Lebih muda, lebih bahagia, lebih optimistik. Kondisi seperti ini adalah salah satu dari mimpi yang sering membuat saya terjaga di malam hari. Dan hari ini, saya dalam kondisi sadar. Apakah ini sebuah kebetulan?
“Nama ibumu, Eva?”
Kembali tidak ada suara. Namun jawabannya mengkonfirmasi kecurigaan saya.
“Siapa ini?”
Saya menarik napas dalam-dalam. Entah saya mulai paham apa yang terjadi, atau saya sudah gila. Yang pasti saya nikmati saja kondisi ini. “Pertanyaan berikutnya akan terdengar aneh. Hari ini tanggal berapa?”
“Maaf, Pak.. Apa? Tunggu sebentar.” Dia berhenti sebentar kemudian terdengar suara kemeresak kertas lagi, lalu beberapa saat “Hari ini 9 Juli 1999.”
Mustahil. Mungkinkah gara-gara badai yang sedang terjadi di luar? Di hari peringatan kematian dia?
“Emily, dengarkan saya.”
“Pak. Percakapan ini sudah mulai melenceng. Mari kita fokus di pembayaran saja..”
“Dengarkan baik-baik.. Satu hari, satu hari kamu akan bertemu seorang pria. Kamu akan jatuh cinta padanya, Emily. Dia akan mencintaimu melebihi apa yang kamu bayangkan.” Saya harus memberikan sesuatu yang bisa membuat dia ingat. “Pada hari liburan bersama pertama kalian, dia akan membelikan satu hadiah untuk semua dua belas hari natal.”
“Terdengar romantis,” komentar dia sambil tertawa. “Apakah kamu peramal?”
“Saya sangat serius. Kamu akan menikah dengan pria ini Emily. Dia akan memberikan kamu cincin yang selalu kamu inginkan. Upacara pernikahannya di kota kelahiranmu. Seluruh keluargamu ada di sana, termasuk tante Zelda dan nenekmu yang dari Tennessee…”
“Saya suka ramalan zodiak,” jawab dia dengan sedikit nada menyindir.
“Namun, dua tahun kemudian, 9 Juli 2015, kamu akan terbunuh di rumah yang kalian tinggali bersama.”
Suara hening, kemudian terdengar suara, “Jadi apa yang harus aku lakukan?”
Pertama-tama, saya bilang untuk hindari rumah di hari itu. Untuk jangan pacaran dengan saya, untuk menghindar, dan cari orang lain yang lebih baik. Namun ditengah pembicaraan, suara tiba-tiba terputus. Saya berusaha telepon balik, tetapi tidak pernah ada yang angkat lagi.
Saya tertidur sambil terdengar suara halilintar menggelegar sepanjang malam. Malam naas itu kembali muncul di dalam mimpi saya. Teriakan dia. Badan dia terbujur di lantai. Saya tidak pernah bertanya-tanya pada sambungan telepon itu. Saya tidak bertanya kenapa. Mungkin itu Tuhan. Mungkin itu hanya waktu. Namun ketika saya terbangun kemarin pagi...
Emily berada di samping saya.