MPTA || 73. Bencana

680 49 40
                                    

— بسم الله الرحمن الرحيم —

— اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

.
.
.

"Kamu beneran lupa sama kita? Apasih namanya?" tanya Shanum sembari menatap Huma yang baru saja sampai di pondok pesantren Al-fatah, tanpa tahu malu Huma langsung saja merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur.

"Amnesia," sahut Bira yang juga menatap tidak percaya kepada Huma, sedih sekali hatinya karena sahabatnya melupakan mereka semua.

"Nah iya itu."

"Kalo gue nggak amnesia, gue nggak akan lupa sama kalian pinter," timpal Huma sembari memejamkan matanya dan tangan yang ia tumpukkan di atas kening.

"Bener sih, jahat kamu Ning karena lupa sama kita," ucap Fanny melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah yang cemberut.

"Namanya juga musibah nggak ada yang tau, do'ain aja semoga gue cepet pulih. Capek juga tiap hari sakit kepala terus," ucap Huma dengan suara yang pelan.

"Pantesan Gus Mumtadz jarang kelihatan, terus aku lihat-lihat Gus Mumtadz juga kayak nggak ada semangat. Udah mah dingin eh sekarang malah nambah dingin karena dilupain sama istrinya," ucap Shanum karena kemarin ia melihat Bintara yang hanya melamun, bahkan ketika sedang mengajar sampai ditegur oleh para santri.

Maaf

"Semoga Ning cepet sembuh ya? Kasian Gus Mumtadz," ucap Fanny memandang Huma dengan tatapan yang sendu.

"Aamiin, ya Allah semoga Ning Huma cepet sembuh. Berikan kesembuhan buat Ning ya Allah," kata Bira sembari mengadahkan kedua tangannya lalu mengusapnya ke wajah diikuti oleh mereka.

"Walaupun Ning lupa sama kita, tapi kita nggak pernah lupa sama Ning. Kita akan tetap menjadi sahabat sampai surganya Allah," tutur Shanum dengan suara yang sangat tulus. Ia berharap jika Allah akan segera memulihkan ingatan Huma.

"Aaaa gue jadi terharu, selama ini gue emang pake pakaian kayak gini ya?" tanya Huma seraya memeluk mereka, Huma merasa nyaman dengan mereka.

"Iya, semenjak Ning masuk pondok. Ning udah kayak gini," kata Bira dengan tersenyum lebar.

"Eh gue bawa jajanan, ambil sana. Kita makan bareng-bareng," suruh Huma menunjuk jajanan yang tadi ia beli. Membuat mereka dengan semangat mengambilnya dan langsung melahapnya dengan sangat nikmat dengan sesekali diselingi mengobrol bersama.

"Jangan panggil Ning, gue nggak suka. Karena gue cuman wanita biasa," celetuk Huma yang membuat Shanum tersedak cilok.

"Kok? Ucapannya sama kayak Ning Huma yang dulu," ucap Shanum memandang Huma dengan tatapan yang menyelidik, sedangkan Huma hanya mengedikkan bahunya acuh.

My Promise To Allah [END-Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang