— بسم الله الرحمن الرحيم —
— اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Jangan takut akan ujian yang terus datang, kamu ada aku sayang.
— Bintara Mumtadz Junias Al-ghozi.
.
."Laper," gumam Huma seraya mengelus perutnya.
Huma mengalihkan pandangannya untuk melihat jam yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Biasanya di jam-jam seperti ini Huma sedang mengaji bersama dengan teman-temannya. Tetapi saat ini ia sudah tidak bisa seperti dahulu lagi, dan sekarang pasti para santri sedang mengaji dan umi, Abi ikut serta dalam mengajar.
Huma menatap Bintara yang sedang tertidur pulas di dalam pelukannya, dan tangan kekarnya yang melingkar indah di pinggang ramping milik Huma. Tangan Huma mengelus kening Bintara dan ia merasakan bahwa panas suaminya sudah mulai turun, tidak sepanas siang tadi.
"Cepet sembuh my hubby," bisik Huma lalu mengecup kening, pipi, dan hidung mancung milik Bintara. Huma terkikik geli ketika melihat wajah polos Bintara ketika tidur. Huma kembali mengecup hidung mancung Bintara, lalu dengan perlahan Huma turun dari ranjang dan ia berjalan ke dapur.
"Masak capcay aja kali ya," gumam Huma lalu mengambil beberapa sayuran dan bakso untuk membuat capcay.
Suasana di dalam ndalem sangat sepi, karena para santri dan pengajar sedang berkumpul di dalam majlis. Dengan tangan yang cekatan Huma mulai membuat bumbu untuk capcay, setelah itu ia mulai memotong sayuran dan beberapa bakso.
Setelah semuanya siap, Huma mulai menumis bumbu dan ketika sudah wangi Huma mulai memasukkan sayuran tersebut. Tetapi ditengah-tengah memasak, Huma merasakan sebuah tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Dari wangi yang Huma cium ia sudah pasti sangat tahu siapa orang itu, Huma hanya diam seraya terus melanjutkan masaknya.
"Kamu ninggalin aku," bisik Bintara dengan suara serak, lalu menduselkan wajahnya di ceruk leher Huma.
"Kan kamu lagi tidur."
"Tapi aku kebangun, soalnya nggak ada kamu sayang," ucap Bintara seraya memejamkan matanya.
"Lepas dulu ya A'? Aku mau ngambil piring," ucap Huma seraya berusaha untuk melepaskan pelukan tersebut, tetapi Bintara malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Nggak mau," jawab Bintara menggelengkan kepalanya.
"Lepas dulu ya? Sebentar."
"Nggak mau."
"Lepas."
"Nggak mau."
"Sayang nya Huma, lepas ya pelukannya," ucap Huma dengan suara yang lembut, Bintara itu sangat keras kepala. Jika dikasari ia malah semakin membantah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Promise To Allah [END-Revisi]
EspiritualAdeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia juga tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Pada suatu hari, dia mendapatkan sebuah hidayah yan...