Bunga Layu

193 22 2
                                    




Malam harinya Anggi masih setia menunggu Sandra di depan ruang ICU ditemani oleh Maminya. Nayla baru saja pulang karena ada kegiatan di komunitas pengabdian yang ia ikuti.

Vera mengusap lembut kepala anaknya yang sedang berbaring di kursi panjang dengan pahanya dijadikan bantal oleh Anggi. Vera meringis ketika celana hitamnya terasa basah oleh air mata Anggi yang terus berjatuhan.

"Mami direktur di rumah sakit ini, apa Mami engga bisa buat Sandra sembuh?"gumam Anggi yang kini sedang memunggungi Vera.

Vera menunduk dan mengusap lembut pipi Anggi, "Mami dan dokter disini cuman manusia biasa, bukan Tuhan."jawab Vera.

"Dokter itu cuman bisa menolong seseorang dari ambang kematian. Yang menentukan akan hidup atau mati, itu Tuhan. Kalau ditanya seberusaha apa dokter menolong pasiennya, sudah pasti akan dikerahkan semua usaha yang dokter bisa. Tapi, yang punya kendali itu Tuhan."

Penuturan Vera yang lembut membuat Anggi kembali menangis.

"Keputusan pencabutan alat bantu untuk Sandra ada ditangan kamu. Kalo kamu udah siap untuk lepasin Sandra, segera kasih tau Mami ya?"ucap Vera tanpa ada rasa sedih sedikitpun.

Ini hal yang sudah sering ia lihat, bukan karena tidak punya hati melainkan ia sudah terbiasa menangani pasien yang mati otak ataupun sedang masa kritisnya. Jika ia harus merasakan sedih setiap kali ada pasien yang ada diambang kematian, itu artinya ia harus menangis beribu-ribu kali tiap kali ada yang meninggal dunia.

Menurutnya hal yang berat menjadi seorang dokter tak hanya di masa pendidikan melainkan di masa kerja saat menghadapi kematian seorang pasien.

"Kalo aku mau pertahanin Sandra apa bisa dia hidup?"tanya Anggi seraya menghadapkan tubuhnya kearah Vera.

Vera tersenyum dan menggeleng, "Justru itu bakal buat Sandra menderita. Meski dia engga sadar tapi dia bisa ngerasain sakit ditubuhnya. Liat'kan seberapa parah luka Sandra?"jawab Vera dengan lembut serta tangan yang tak lelah mengusap pucuk kepala Anggi.

"Ada yang bilang gini, dek. 'Memaksakan hidup seseorang yang sudah engga bisa sembuh itu bikin sedih. Kita nahan dia untuk pergi, tapi tanpa kita sadari dia sedang menahan sakit ditubuh lemahnya.' Kamu tega sama Sandra?"

Anggi meneteskan air matanya seraya menggeleng.

"Kita engga boleh egois, semua manusia yang hidup itu udah pasti bakal mati dengan cara yang beda-beda."

Anggi mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap lekat kearah Vera.

"Apa organ Sandra bisa didonorin?"tanya Anggi yang membuat Vera menaikkan satu alisnya.

"Bisa kalau memang engga ada kerusakan di organ vitalnya seperti jantung, ginjal, hati ataupun paru-parunya."jawab Vera yang membuat Anggi mengangguk paham.

"Sandra sempet bilang beberapa hari lalu kalau dia kenapa-kenapa, dia mau donorin organnya buat orang lain. Apa Mami bisa cariin orang yang butuh donor organ?"

Vera menatap serius kearah Anggi, "Sandra serius ngomong gitu?"

Anggi mengangguk mantap, "Kalo gitu biar Mami cari tau ada pasien yang butuh donor organ atau engga. Nanti Mami kabarin kamu kalo udah dapat."

Anggi tersenyum tipis dan memeluk singkat kearah Vera, "Aku bakal temenin Sandra disini sampe Sandra bisa berbagi organnya buat orang lain."ucap Anggi.

Tak berapa lama Hasya datang dengan parcel buah segar di tangannya. Hasya tersenyum lebar kearah Vera.

"Kok kamu di sini Sya? Kamu kenal sama Sandra?"tanya Vera memanggil Hasya dengan nama tanpa embel-embel dokter. Bukan karena jabatannya yang tinggi dari Hasya, melainkan mereka seumuran.

Kehidupan di 2045Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang