20. Risiko

4.1K 128 6
                                        

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Ester luluh dan mau pulang ke rumah orang tuanya dan menghadapi segala risiko ke depannya tanpa ia tahu akan seperti apa. Tentu saja semua itu juga berkat dorongan dan sedikit paksaan dari Damian, pria itu turut andil agar Ester bisa memaksakan diri untuk kembali pada orang tuanya.

"Sorry tadi di kampus harus lanjut meeting seminar sebentar, jadinya kita kemaleman dari janji tadi."

"Hmmm."

"Dan untuk mobilmu yang ada di hotel akan diantar pulang ke rumah sama Samuel, mungkin juga dengan Clarissa besok setelah aku minta tolong mereka kemarin."

Ester tak mempermasalahkan hal itu karena ia sendiri sedang sibuk dengan semua persiapan jiwa raganya untuk menemui Bian dan Vani.

"Kalau begitu kau mampir ke rumah orang tuaku besok aja atau mau kapan?"

Beberapa saat Ester terdiam karena pikirannya yang tak fokus saat Damian mengajaknya bicara. Sampai akhirnya sang empu menoleh sekilas sebelum kembali sibuk menyetir.

"Kau kenapa?"

"Gak usah ikut aku pulang ke rumah deh. Nanti kalau kau dipukuli papa gimana?"

Tiba-tiba saja Ester berkata demikian. Di tengah perjalanan yang sebentar lagi tiba di kediaman Fanderick justru sang puan berubah pikiran sekarang.

"Resiko."

"Aku serius, Dam."

"Aku juga serius." 

"Tapi ini bukan masalah sepele."

"Aku tau, mangkanya aku gak bisa lepas tangan dan biarkan kau hadapi semuanya sendirian."

Ester menoleh ke arah Damian dengan rasa yang bercampur aduk, takut, cemas, khawatir, maupun overthinking tentang hal-hal yang belum tentu terjadi.

"Kau yakin dengan semua ini?"

"Why not? Aku gak bisa biarkan anakku lahir tanpa ayah."

"Kalau aku ga setuju untuk lahirin dia?"

"That's it. Alasan kenapa aku nge-push buat cepetan tanggung jawab. Karena kau selalu denial dan terus menolak kenyataan."

Helaan napas panjang keluar dari mulut sang puan. Meski Ester sedikit lega karena Damian benar-benar serius untuk bertanggung jawab, ia masih sedikit merasakan cemas jika akan terjadi sesuatu pada sang empu jika di tangan Bian nanti. Mengingat jika temperamen ayahnya akan berubah drastis setiap kali dihadapkan dengan semua hal yang menghancurkan kepercayaan apalagi perasaannya.

"Gak usah khawatir, aku baik-baik aja kok. Aku udah pikirkan semua ini sebelumnya. Mau bagaimana pun reaksi orang tuamu, aku akan terima. Wajar kalau mereka akan marah besar denganku, kalau aku jadi mereka pun pasti sama. Bahkan bisa lebih," imbuh Damian berusaha meyakinkan jika tak akan ada hal buruk terjadi karena semua telah dipikirkan akan persiapannya.

"Tapi papaku galak, lebih dari yang kau tau."

"Segalak apa sih sampai kau takut aku bertemu dengannya?" tanyanya balik. Kali ini dengan melihat ke samping kiri cukup lama lantaran sedang terjebak lampu merah.

"Ck, dibilangin juga malah nantang terus."

"Siapa yang nantang sih? Salah kalau aku tanya?"

"Ya pokoknya papa gak sebaik yang dugaanmu pikir. Papa bisa aja lakuin apapun yang dia ingin kalau seseorang berani mengusiknya."

"Sekalipun mau babak belur juga harus aku terima kan? Mau gak mau itu udah jalan satu-satunya buat hadepin orang tuamu. Aku berani berbuat juga harus berani tanggung jawab. Lagi pula bagiku sakit lebam dan makian bisa sembuh hitungan hari, dibanding harus lari dari kenyataan dan biarin kalian sendirian."

Semua kalimat yang terlontar dari mulut Damian barusan sedikit melegakan, ia senang jika bertemu pria yang tak sama seperti Diego—mantan kekasihnya itu. Setidaknya dalam bertindak, Damian lebih unggul jauh darinya. Dengan begini Ester mulai memupuk rasa keberaniannya untuk menghadapi kenyataan tidak seburuk yang ia pikir sebelumnya.

"Udahlah, gak usah terlalu dipikirkan. Nanti bisa stress, gak baik untuk ibu hamil."

Mobil yang dikendarai mereka berdua kembali melaju menuju ke perumahan tempat Ester tinggal. Di detik-detik kedatangan mereka itu pula Ester kembali buka suara, ingin menanyakan apa yang ia belum ketahui alasannya.

"Kenapa seantusias itu, Dam? Di saat banyak pria yang melarikan diri dari tanggung jawab saat tau pacarnya hamil, kau malah maju paling depan untuk tanggung jawab? Bahkan hubungan kita gak sebaik itu, kita tidur juga karena murni kesalahan."

"Bagimu, tapi bagiku gak. Aku ngelakuinnya dengan sadar. Bahkan saat kau melarangku pakai kondom pun aku juga sadar untuk lanjut atau gak. Nyatanya aku pilih lanjut yang naasnya gak hanya sekali, tapi berkali-kali seakan kau adalah tempat pelampiasan nafsuku malam itu."

"Kalau ditanya kenapa seantusias itu, ya karena aku peduli dengan anak yang kau kandung. Aku enggan membiarkannya sendirian tak dianggap apalagi dibenci oleh orang tuanya sendiri. Kau gak akan tau bagaimana rasa sakitnya anak gak berdosa itu gak diinginkan di dunia ini, padahal kehadirannya juga karena orang tuanya. Dengan alasan apalagi aku harus tutup mata dan bersikap berengsek dengan darah dagingku itu?" lanjut Damian panjang lebar.

"Aku tau kalau semua ini berat bahkan jadi beban bagimu, mangkanya aku gak akan biarin kau menanggungnya sendirian. Kita bikin berdua, menanggungnya pun harus berdua. Maaf kalau anakku jadi menyusahkanmu."

Ternyata benar hipotesis dari Ester sejak kemarin soal Damian, jika pria itu melakukan semua ini tak lebih hanya karena peduli dengan anak yang dikandungnya saja. Bukan karena dirinya.

"Jadi tolong, jangan paksa aku mundur hanya karena rasa takutmu itu. Masa depanmu hancur karenaku, jadi aku berusaha untuk menyusunnya lagi meski gak akan sesuai dengan semula."

Tepat di sebuah pintu gerbang rumah Ester mobil dihentikan. Damian menarik napasnya dalam-dalan setelah mengatakan semua hal yang dipikirkan olehnya pada Ester. Dan sekarang gilirannya untuk meyakinkan diri jika semua ini pasti ada jalan keluarnya. Ia yakin itu.

"Kalau begitu tepati janjimu."

Ester langsung turun dari mobil lebih dulu setelah mengatakan kalimatnya. Tak lama kemudian Damian menyusul di belakangnya karena harus meminta untuk dibukakan pintu gerbang oleh Pak Umar—satpam setia di rumah Fanderick selama belasan tahun.

"Non Ester? Akhirnya Non pulang."

Belum sempat memanggil, Pak Umar sudah tahu kedatangannya lebih dulu. Pria paruh baya yang terkejut dengan kepulangan nona mudanya setelah menghilang berhari-hari pun membuat beliau bergegas membukakan pintu.

"Semuanya ada di rumah, Pak?"

"Iya, Non. Tuan, nyonya, dan aden ada di rumah. Mau saya panggilkan?"

"Gak usah, Pak. Biar saya masuk sendiri."

"Baik Non. Silakan."

Pak Umar tak banyak bertanya mengenai Damian, beliau hanya melihatnya teliti dari atas rambut hingga ujung kaki. Tampak asing, namun sepertinya presensinya memang penting bagi Ester sekarang.

Setelah mobil dipersilakan masuk, Ester dan Damian sudah sepakat untuk masuk dan pergi menemui Bian, Vani, bahkan Elang bersama. Jangan tanyakan bagaimana berdebarnya jantung Ester kala ini, yang pasti sangat kacau sampai membuat kedua tangannya tremor dan keringat dingin.

"It's okay," ucap Damian dengan menelusupkan jari-jari kirinya mengenggam tangan Ester saat langkah kaki mereka sudah ada di depan pintu utama.

"Aku bingung harus ngomong sama mereka mulai dari mana—"

"Ester?"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara seseorang dari dalam rumah membuat mereka berdua kompak menoleh.

~~~

Enaknya lanjut besok atau lusa yaa? Atau bahkan minggu depan? 🤔

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang