8. Bekas kemerahan

5.9K 109 3
                                    

Saat baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, ia sudah disambut dengan keberadaan Bian—ayahnya itu di ruang tamu. Beliau sedang sibuk membaca berita pada tablet digital miliknya yang membuat perhatiannya terfokus. Sampai-sampai tak menyadari dengan kepulangan putri sulungnya itu jika Ester sendiri tak menyapanya lebih dulu.

"Pa, aku pulang."

Pria paruh baya dengan kacamata yang bertengger manis di atas hidungnya itu sontak menoleh dan mendapati putri sulungnya baru saja tiba di rumah.

"Katanya pulang tadi siang? Kenapa baru sampai sekarang, Ce?" tanya beliau membuat Ester menelan salivanya getir.

"Itu tadi karena macet, Pa. Sama mampir buat beli makan dulu," alibinya.

"Kemana bajumu? Kata Clarissa kalian ada kerjaan di luar kota kemarin, kamu gak bawa apa-apa?"

Sejenak Ester terdiam. Lumayan lama karena ia sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk dikatakan.

"Oh itu—itu tadi masih dititip ke rumahnya Clarissa dulu. Karena kebetulan mampir ke rumah dia tadi, lagian juga cuman bawa barang sedikit kok, Pa."

Bian memang tak tahu pasti dengan kepergian Ester terakhir kali dari rumah. Karena pada saat itu beliau masih sibuk dengan urusan pekerjaannya di kantor, alhasil beliau juga tidak tahu jika putrinya itu pergi membawa baju atau tidak kemarin. Alhasil setelahnya Bian menganggukkan kepala paham dan tak menaruh curiga terhadap putri sulungnya tersebut.

"Kalau kamu sering keluar kota terus kenapa nggak pindah ke kantor papa aja? Lagian itu lebih baik untuk masa depan nanti, biar ada yang bisa papa andalkan nanti untuk mengurus perusahaan."

Sontak Ester menggelengkan kepalanya cepat. Ia akan selalu menolak setiap kali Bian mengajak ataupun membujuknya agar bisa bergabung dengan perusahaan warisan yang selalu menjadi kendali turun temurun sejak kakek buyutnya itu.

"Nggak usah, Pa. Aku udah terlanjur nyaman juga kerja di kantorku sekarang. Meski cuma jadi karyawan biasa, itu lebih membanggakan dari pada harus jual identitas keturunan di kantor papa."

Semua jawabannya pun juga akan tetap sama. Tak akan berubah dan berpindah. Tekatnya untuk tetap menjadi perempuan mandiri tanpa backingan orang tuanya itu selalu menjadi prioritas bagi Ester untuk berkarir. Meskipun harta dan tahta yang dimilikinya sudah menanti dengan mudahnya.

"Kalau cece gak mau biar aku aja yang nerusin, Pa. Lagian aku juga gak bodoh bodoh amat kok, gini gini aku juga bisa diandelin kok," timpal seseorang dari arah ruang tengah.

"Selesaikan dulu skripsimu, jangan bolos bimbingan terus. Papa jengah setiap kali dapet laporan itu."

Ester pun mengulum senyumnya setelah mendengar ucapan Bian barusan.

"Ya lagian papa kenapa harus temenan sama Pak Janu sih, kan jadinya diaduin mulu," gumamnya pelan yang naasnya masih bisa terdengar jelas oleh mereka berdua. Ester dan Bian.

"Jangan harap kamu bisa gabung dengan Terragon sebelum lulus."

Lelaki muda yang usianya 4 tahun di bawah Ester itu mencebikkan mulutnya sebal. Ia yang bernama Elang dengan segala ambisi dan juga inisiatif untuk bisa bergabung dengan perusahaan Terragon sejak lama itu selalu saja dipatahkan harapan dengan ayahnya sendiri. Karena selama ia belum menunjukkan progress dari hasil kuliahnya selama kurang lebih 4 tahun itu, maka Bian tak akan mengizinkannya untuk mengambil peran di dalam perusahaan.

"Ya udah kalau mau debat dilanjutin aja, aku ke kamar dulu Pa."

"Eh tunggu dulu, Ce."

Langkah Ester terhenti saat Elang menghadangnya dengan tangan yang terulur ke depan.

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang