30. Mendekati hari-H

1.9K 61 2
                                    

"Lain kali jangan pernah mau terima apalagi makan atau minum pemberian orang asing."

Ester menghela napas pendek dengan memutar bola matanya dengan malas. Pasti Clarissa mengadukannya pada Damian soal minuman cup yang ia terima dari bocah kecil tadi.

"Denger nggak?"

"Ck, iya iya."

"Ya udah, masuk sana. Langsung istirahat dan jangan begadang."

Damian benar-benar cerewet akhir-akhir ini. Bahkan Ester sulit sekali mengelak apalagi mengabaikan jika sang empu sendiri enggan dibantah.

"Ya udah, pulang sana. Ngapain masih di sini?" tanya Ester sebelum ia beranjak pergi dari ruang tamu.

"Masih ada urusan sama papamu."

"Apalagi, Oh Tuhan?"

"Bukan kapasitasmu."

"Gak usah aneh-aneh deh, Dam. Gak perlu ngadu atau ngomong apapun sama papa soal tadi—"

"Yang mana? Soal bohong kalau pamitnya keluar sama aku tapi nyatanya enggak?" selat Damian membungkam Ester seketika.

Damn it!

Kenapa dia selalu tahu dengan semua hal yang ia sembunyikan?

"Stop jadi penguntit ya anjing!" kesal Ester karena Damian membuatnya terus terdesak.

"Language!"

"Gak usah ikut campur bisa gak sih?"

"Gak bisa, mau apa?"

"Emang berengsek. Sukanya selalu ngancem dan ikut campur urusan orang lain terus."

"What do you mean? Orang lain? Aku calon suamimu, pun kau calon istriku. Dari mana letak lainnya?"

"Persetan! Heran banget sama rambut nenek itu bisa suka modelan pria mokondo—"

Ucapan Ester seketika terhenti karena Damian sudah menangkup rahangnya. Tatapan mata mereka bertemu sepersekian detik sebelum akhirnya sang empu membuka suara.

"Perhatikan bicaramu. Kalau aku mokondo mana mungkin aku bersedia menikahimu? Padahal aku bisa meninggalkanmu tanpa jejak dan tanggung jawab. Lupa dengan siapa yang menggoda lebih dulu?"

Wanita itu menelan salivanya getir. Mendapat tatapan lekat yang mengintimidasi kesadarannya sontak menelan mentah-mentah keberanian nyalinya.

"Salah sendiri punya batang murahan. Baru digoda doang udah main celup aja!" cibir Ester yang memberanikan diri untuk "menantang" Damian.

"Kejantananku bukan untuk sembarang lubang. Dan kau selalu menyalahkanku atas kesalahan yang kita sepakati bersama waktu itu. Seharusnya kau malu dengan ucapanmu yang terus berlawanan saat tubuhmu sendiri selalu minta untuk kusentuh," jawab Damian dengan sengaja menurunkan tangannya hingga ke leher yang nyaris menjamah dada sang puan.

"MESUM!"

Ester langsung melenggang pergi setelah berhasil menepis tangan Damian dari tubuhnya. Ia ingin segera menjauh dari radar sesat pria itu sebelum makin jauh.

Bisa gila.

Belum menikah saja Ester terus dibuat mendidih dengan segala hal yang berkenaan dengan Damian. Bagaimana jika sudah resmi menjadi pasutri dan tinggal satu atap bahkan satu ruang kamar dengannya?

Gosh! Sekadar membayangkan saja Ester muak.

[One Night Sleep]

Hari pernikahan yang semakin dekat membuat Ester mulai stress. Wanita itu lebih memikirkan bagaimana kehidupannya nanti ke depan setelah resmi menjadi istri Damian karena menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Belum lagi mati-matian pula menerima kenyataan jika harus mengandung dan melahirkan bayi itu di saat dirinya sendiri belum siap. Semuanya sudah terlanjur, risiko yang harus dijalaninya akan tetap terjadi mau bagaimana pun juga.

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang