23. 2 Pihak

3.1K 114 2
                                    

"Kenapa nggak pernah cerita apapun sama aku sih, Ces? Kenapa mesti disembunyiin?"

Clarissa datang untuk mengembalikan mobil milik Ester yang tertinggal di hotel tempatnya berada beberapa hari kemarin atas permintaan Damian. Dan sekarang ia ingin meminta penjelasan dari semua kejadian yang sudah terjadi pada sang puan tanpa sepengetahuannya sama sekali.

"Sorry, Ca. Aku cuman gak mau bahas soal itu lagi. Ya aku pikir kalau dengan cara aku lupain semuanya dan bersikap seolah gak ada yang terjadi akan baik-baik aja. Tapi justru malah berakhir begini. Aku stress, Ca."

"Ssttt, udah yaa. Sorry sorry. Aku gak maksud buat ungkit lagi, ya udah sekarang gak usah dipikirin lagi soal itu. Kasian nanti ponakanku jadi ikutan stress, Ces."

"Gak dipikirin gimana? Semuanya hancur berantakan, Ca. Masa depanku, rencanaku, semuanya udah gak ada harapan lagi sekarang."

Clarissa langsung memeluk sahabatnya itu dari samping. Ia bisa tahu betul bagaimana kecewa dan hancurnya berada di posisi sang puan sekarang, mengingat jika memang sesama perempuan itu adalah suatu hal yang besar untuk dihadapi.

"Harusnya malam itu aku gak mabuk, Ca. Pasti semuanya gak akan jadi begini. Kalau bukan karena ego dan amarah sesaatku waktu itu juga aku gak akan ngalamin ini."

"Iya Ces. Mau gimanapun juga semuanya udah terjadi. Percuma kalau cuman disesali sekarang, mending kamu ambil hikmah dan jadikan pelajaran ke depannya. Dengan adanya musibah begini pasti Tuhan kasih maksud di dalamnya, jangan berkecil hati. Semua pasti selesai."

Di dalam ruang kamarnya, Ester menyimpan banyak lukanya yang tak bisa meluap. Perempuan muda yang harus mengorbankan banyak mimpi dan harapan tingginya itu telah hancur sia-sia. Kini ia hanya bisa meratapi nasib dengan bersusah payah untuk kembali bangkit.

"Maafin aku juga ya, Ces. Aku udah ceroboh dan bodoh banget ngajakin kamu pergi ke apartemennya Damian. Bahkan ninggalin kamu sendirian di sana. Tolong jangan benci aku—"

Ester menggelengkan kepalanya cepat. Ia meleraikan pelukan Clarissa saat itu agar ia bisa melihat lekat pada sahabatnya.

"Kamu sendiri yang bilang kan? Semuanya udah terjadi, percuma disesalin sekarang. Kita emang sama-sama gak tau kalau semuanya akan jadi begini, dan itu aku anggap sebagai takdirku sekarang."

Clarissa berusaha menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Bohong jika ia tak sedih dan menyesal luar biasa sekarang, mengetahui sahabatnya dalam kondisi sulit seperti ini turut membuatnya terjebak di dalamnya. Terlebih lagi ia juga ikut andil di dalam cerita sang puan tanpa disengaja.

"Terus kemarin kata Damian gimana?"

"Dia bilang bakal tanggung jawab untuk anak ini. Dan kemarin—"

"Kemarin kenapa?" tanya Clarissa ulang karena Ester sengaja menjedanya.

"Kemarin Damian dipukuli habis-habisan sama papa."

"Aku gak kaget soal itu, wajar aja Om Bian marah besar. Apalagi ini soal anaknya."

"Ca."

"Hmm?"

"Aku takut kalau harus nikah sama dia. Kami sama-sama gak pernah ada hubungan sedikit pun sebelumnya. Bahkan kesan baik pun gak ada, setiap ketemu kami sama-sama acuh tak acuh. Terus gimana untuk ke depannya kalau kami harus menikah tanpa cinta, Ca?"

Kedua tangan wanita hamil itu digenggam lembut oleh Clarissa. Tatapan mereka bertemu beberapa saat sampai ia kembali buka suara.

"Aku tau kalau Damian itu terkenal cuek, galak, bahkan acuh tak acuh dengan sekitarnya. Bahkan image dia seakan untouchable. Tapi ada satu hal yang juga perlu kamu tau, Ces."

Ester terdiam dan menyimak baik-baik akan semua penuturan Clarissa.

"Dia itu sebenernya pria yang rapuh. Bahkan dikatakan lemah itu jauh lebih buruk. Kenapa? Karena di balik semua sikap, sifat, dan kebiasaannya itu Damian menyimpan banyak luka yang gak banyak orang tau. Dia tipikal pria yang selalu bisa diandalkan ucapan atau janjinya, Ces. So, kalau untuk soal cinta itu bisa menyusul. Karena yang terpenting itu adalah dia punya satu hal yang bisa diandelin, yaitu ucapan dan tindak nyatanya."

"Meskipun selama ini kamu anggap dan nilai dia sebagai pria apatis, bisa jadi dia adalah orang yang paling tanggung jawab atas hidupmu nanti. Buktinya saat tau kamu hamil anaknya pun dia gak pernah lari dari kenyataan kan? Justru dia yang paling inisiatif untuk perbaiki semua kesalahan kalian dengan tanggung jawabnya."

"Tapi gimana kalau semua itu hanya manipulasi, Ca? Aku bahkan gak bisa percaya gitu aja kalau Damian bener tanggung jawab sama kami."

"Ces, kalian berdua gak ketemunya cuman sekali dua kali aja. Dan kamu sendiri juga tau gimana Damian dalam prinsipnya? Kalau A ya A, B ya B. Itu berarti kalau dia udah bilang begitu gak akan pernah berubah. Aku gak bermaksud bela Damian sama sekali, aku cuman kasih tau kamu tentang apa yang aku tau aja. Selama ini Samuel banyak cerita, dan kita juga udah hapal gimana Damian."

"Manusia emang tempatnya salah dan bisa berubah sesuka hati, tapi apa salahnya kasih dia kesempatan dulu?"

[One Night Sleep]

Di hadapan Bian serta Vani saat ini Damian memberanikan diri untuk mengungkapkan semua maksud kedatangannya ke sana bersamaan dengan orang tuanya. Setelah melewati drama panjang dan kesulitan tak mudah, Damian berhasil membawa mereka ke sana untuk menepati janjinya kemarin.

"Jadi kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?" tanya Bian to the point.

Damian tak langsung menjawab lantaran ia menatap ke arah Ester yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala.

"Saya siap kapanpun dalam waktu dekat ini, Pak. Asalkan Ester bersedia, saya akan mengurus semua secepatnya."

Kemantapan hati pria itu tercipta karena inisiatifnya sendiri. Ia tak mungkin membebankan Ester lagi untuk soal pernikahan mereka. Ia juga tahu bagaimana berantakannya Ester sekarang karena masih sulit menerima keadaan.

"Gimana, Ce? Kamu bersedia dalam waktu dekat?"

Sebelum menjawab, Ester mencengkram ujung bajunya dengan rasa kebingungan. Lidahnya terasa kelu dan merasa jiwanya tak berasa di sana sepenuhnya.

"Iya Pa."

Pada akhirnya semua saling setuju. Keputusan yang telah diputuskan oleh 2 pihak keluarga secara bersamaan tersebut akan menjadi jalan keluar bagi mereka berdua. Mau tidak mau, siap tidak siap akan tetap terjadi. Dan Ester tak akan bisa mengelak akan hal itu.

Di tengah ributnya isi kepala, seseorang telah menggengam pelan tangan kanannya dengan usapan lembut di atasnya. Ia menoleh dan mendapati Sahara tersenyum tipis kepadanya. Wanita paruh baya yang sejak awal duduk bersebelahan dengan Ester memudahkan beliau untuk menggapai sang puan.

"Maafkan Damian ya. Kami janji akan menjaga kamu dengan baik. Tolong jangan benci anak yang gak bersalah, ya. Karena Damian sangat menghargai kehadirannya."

~~~

Malam ini kilas balik tentang secuil soal Damian. Next part akan dijelaskan lebih detail satu persatu tentang karakter tokohnya. See you 💃

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang