33. Perkara kasur

3.2K 86 5
                                    

"Jagoan? Emang yakin dia laki-laki?"

Damian tersenyum simpul, sangat tipis sekali. Dan ini adalah pertama kalinya Ester melihat pemandangan itu secara jelas tepat di depan wajahnya.

"Hanya feeling, kalaupun bener juga lebih baik. Karena aku mau anak pertama kita laki-laki biar nanti bisa jaga adik-adiknya," jawabnya enteng dengan kembali bangkit yang langsung dihadiahi tatapan sengit dari Ester.

"Adik-adik? Emang siapa yang mau hamil lagi? Kau?"

"Aku yang tanam benih, kamu ladangnya."

"Dih, enteng banget ngomong begitu. Ogah."

Ester langsung membelakangi Damian kembali karena ingin melanjutkan niatnya untuk membersihkan sisa make up. Namun Damian tak kunjung pergi juga, ia justru melangkah maju mendekati istrinya dengan sengaja melingkarkan kedua tangannya dari belakang.

"Damian! Bisa gak sih gak usah ganggu aku? Aku gak mau," susah payah Ester melepaskan pelukan Damian dari belakang. Akan tetapi ia semakin mengeratkannya dengan meletakkan dagu di atas bahu kanan sang puan.

"Bahasanya yang sopan. Sekarang aku suami kamu, jangan suka membantah apalagi mengumpat saat di depan atau belakangku."

Seketika bulu di tangan Ester meremang karena hembusan napas Damian menerpa lehernya. Belum lagi ditambah dengan suaranya yang lirih namun tegas itu membuat situasinya terasa berbeda.

"Ngerti aku ngomong?" tanya Damian, untuk menegaskan kalimat sebelumnya.

"Ck, ngatur-ngatur banget. Minggir sana."

"Ya udah, aku gak akan lepasin kalau kamu masih denial."

"Maumu apa sih, Dam?"

"Emangnya kalimatku tadi kurang jelas ya?"

"Gak usah melebih-lebihkan. Kita nikah hanya di atas kertas untuk formalitas, jalani hidup dan kegiatan masing-masing tanpa ganggu satu sama lain."

"Tapi sekarang hidup aku itu kamu. Dan calon anak kita."

Blush.

Tanpa diduga Ester langsung merasa panas pada bagian pipinya. Ia juga sedikit salah tingkah saat ini setelah mendengar ucapan Damian barusan. Wajahnya yang tampak jelas sedang tersipu untuk mengundang senyuman lebar yang terukir di wajah suaminya. Damian tahu, sangat tahu.

"Mulai sekarang aku gak akan pernah toleransi lagi kalau kamu bantah ucapanku," lanjutnya.

"Tapi aku gak mau dipaksa."

"Aku gak akan maksa kalau kamu nurut, Ester. Aku begini juga demi kebaikan kamu."

Kali ini Ester tidak ingin kalah, ia langsung melepas paksa pelukan Damian dan meloloskan diri dari jangkauannya.

"Kebaikanku atau kepuasanmu mengaturku?"

"Ester."

"Belum juga 24 jam, kerjaannya bikin emosi terus!"

Damian meraup wajahnya kasar. Ia begitu frustasi tiap kali menghadapi ego Ester yang benar-benar keras kepala. Sulit diatur apalagi disetir. Lantas ia menyusul langkah istrinya keluar dari kamar mandi tanpa mengatakan apapun lagi. Untuk saat ini sebaiknya Damian yang lebih banyak mengalah, mengingat jika Ester pun sedang hamil. Ia tak bisa terus-terusan membuatnya stress jika harus banyak mendebat.

"Sekarang mau makan atau istirahat dulu?" tanya Damian mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidur."

Pria itu menganggukkan kepala dan melenggang pergi menuju sebuah paperbag untuk mengambil baju gantinya. Mengetahui jika Damian yang tiba-tiba diam seperti itu sempat membuat Ester heran, ia bahkan sampai berpikir jika sang empu memiliki kepribadian ganda karena sering kali membuatnya bingung dengan perilaku dan sikap yang mudah berubah-ubah dalam waktu singkat.

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang