36. Tiba-tiba (?)

2.8K 97 16
                                    

Sejak tadi sore, Ester hanya menghabiskan waktunya untuk merebahkan diri di atas ranjang milik Damian. Oh tidak, perlu diralat jika itu juga sudah menjadi ranjangnya sekarang. Meski susah mengalahkan ego demi bisa tidur satu ranjang, wanita itu mulai membiasakan diri sekarang. Setidaknya ia lebih memiliki banyak waktu sendiri di kamar karena Damian harus bekerja alias pergi ke kampus dari pagi hingga sore. Bahkan jika ada kesibukan lainnya dengan rekan dosen bisa hampir larut malam baru sampai di rumah. Itulah kenapa Ester tidak terlalu khawatir, karena memang ia jarang melihat suaminya di rumah apalagi di kamar. Kecuali weekend, itu adalah waktu di mana ia sangat membencinya, meski dulu selalu ditunggu karena memasuki waktu libur.

"Tumben belum pulang? Nyasar apa gimana?" gumamnya setelah melihat ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Ia hanya sedikit penasaran karena Damian belum juga pulang ke rumah, padahal biasanya pria itu selalu memberi kabar jika akan pulang telat alias malam. Namun hari ini tidak sama sekali.

"Ck, bodoh amat. Ngapain peduli dia bakal pulang jam berapa," ralat Ester atas pertanyaannya sendiri barusan.

Akhirnya ia memilih keluar dari kamar dan pergi menuju ke ruang makan karena sudah sangat lapar dan ingin memakan sesuatu menu yang sejak tadi pagi diinginkannya. Akan tetapi ia lupa jika tidak meminta asisten rumah tangganya untuk memasak menu itu karena makanan sudah selesai dimasak.

Sedangkan di satu sisi yang lain, Damian sedang berada di sebuah restoran yang berada dekat dari kampusnya. Hari ini ia sudah melewati banyak kegiatan dari pagi sampai saat ini yang baru terselesaikan. Oleh karena itulah ia belum sampai di rumah sekarang, karena para rekan dosennya mengajak untuk makan malam bersama setelah selesai menguji sidang para mahasiswanya hari ini.

Sebenarnya pria itu ingin menolak, namun berhubungan jika ia sedang menjabat sebagai ketua program studi yang baru membuatnya berpikir dua kali sampai akhirnya setuju untuk bergabung sebentar.

"Saya pamit pulang duluan sekarang ya."

Damian sudah beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan dengan mereka. Meski baru saja menyelesaikan makan malam, pria itu tak punya waktu lagi untuk bercengkrama dan ingin segera pulang.

"Buru-buru sekali, Pak Damian?"

"Iya, saya masih ada urusan di rumah."

Tak mungkin untuk sekarang ia mengatakan jika di rumah sudah ada istri yang menunggu, meski belum tentu begitu kenyataannya.

"Oh iya, Pak. Silakan."

"Maaf, Pak."

"Iya?"

Damian urung meninggalkan tempat saat salah seorang yang lain bersuara.

"Maaf saya lancang. Kalau boleh tahu apa Anda sudah menikah? Atau masih bertunangan? Karena saya selalu salah fokus dengan cincin yang Anda kenakan di jari manis."

Saat itu juga sang pembicara yang tak lain adalah seorang perempuan yang usianya tak jauh berada di atas Damian langsung mendapatkan hadiah tatapan tajam dari para rekan yang lainnya. Jelas saja, bertanya seperti itu benar-benar tidak pantas untuk dilayangkan. Apalagi untuk Damian, seorang pria keturunan pemilik kampus yang begitu disegani karena saat ini menjabat sebagai ketua program studi. Bukan hanya soal jabatan, melainkan etika bertanya yang termasuk privasi bagi orang-orang yang belum pernah mempublikasikan sendiri.

Namun Damian tak ambil pusing, pria itu justru tampak tenang dengan melihat sekilas ke arah cincin pernikahannya bersama Ester yang melingkar di jari manisnya.

"Iya, saya sudah menikah. Dan saya sudah memiliki istri sekarang. Maaf jika belum sempat mempublikasikan hal ini, karena saya dan istri memang tidak mengadakan pesta pernikahan. Saya harap ini cukup menjawab dan tidak menjadi bahan gosip. Permisi."

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang