39. Garis Batas

2.2K 102 9
                                    

Yuhuu I'm back! Maaf ya udah ngilang 3 minggu 🤣, baru longgar dari urusan di RL 😍

Langsung check it out!

~~~

[One Night Sleep]

"Katanya waktu itu boleh! Terus kenapa sekarang masih ditahan?"

Netra Damian membidik ke arah lawan bicara. Ia terdiam beberapa saat, sembari sibuk mengikat dasi kala Ester berbicara serius padanya.

"Siapa yang nahan? Aku bolehin kamu kerja, tapi sekarang aku tanya. Emang perusahaan tempat kamu kerja masih nerima karyawannya yang ngilang hampir sebulan ini? Bahkan surat peringatanmu itu udah 2 kali diterima kan?"

"Jadi aku pikir kamu paham artinya," lanjut Damian santai.

Sang puan mendengkus, tubuhnya didudukkan kembali ke sisi ranjang tanpa suara. Ia begitu kesal dan menyesali dirinya sendiri karena dengan mudahnya melepaskan pekerjaan yang sedang ia pertahankan selama ini. Semua itu memang bermula sejak dirinya dinyatakan positif hamil. Jalannya yang lurus mendadak penuh lubang sampai membuatnya terjatuh.

"Tapi aku belum dipecat," bantah Ester karena berusaha membenarkan diri.

"Yakin? Coba tanya papamu."

Dahinya sontak berkerut, kenapa Damian tiba-tiba menyebut Bian. Memang apa hubungannya?

"Kenapa malah jadi papa?"

"Karena beliau tau yang sebenarnya."

Mengetahui jika istrinya terdiam cukup lama, Damian berinisiatif menoleh dan meneliti raut wajah istrinya yang tiba-tiba cemberut. Dengkusan napasnya terdengar pelan, menandakan jika sang empu tengah berusaha sabar. Langkahnya terarah menghampiri sisi ranjang dan berdiri tepat di depan istrinya.

Seketika Ester refleks menahan napas kala Damian membungkukkan tubuhnya dan menjajarkan wajah mereka dengan jarak sejengkal. Belum lagi tangan kanan yang kekar itu menangkup rahangnya membuat sang puan tak bisa berkutik sekarang.

"Kenapa ngebet banget pengen kerja? Uang bulanannya gak cukup ya?"

Tak lama, Ester langsung meloloskan wajahnya dari hadapan Damian setelah mendengar pertanyaan yang menurutnya menyebalkan itu.

"Ini bukan soal uang."

"Terus? Soal karir? Kan masih bisa kerja di perusahaan papa. Atau mau ambil kendali di perusahaan almarhumah mamaku?"

"Ck. Aku gak mau kerja tanpa usaha. Aku pengen lakuin semuanya sendiri atas dasar kemampuanku. Bukan karena embel-embel orang dalam," bantahnya.

Damian menegakkan tubuh lantas membenarkan jas juga dasinya.

"Terserah. Aku cuman nawarin, kalau kamu gak mau ya udah."

Lah?
Serius?

Ester berdecak sebal dengan tatapan mata tajam ke arah suaminya lantaran tak suka dengan perkataannya barusan. Padahal tidak ada yang salah, namun Ester kesal dengan kalimatnya. Sedangkan Damian sendiri memang sengaja, ia tak ingin ambil pusing hanya untuk membujuk Ester. Apalagi untuk hal yang sebenarnya tidak ia izinkan.

Karena Damian sendiri merasa masih mampu untuk menghidupi keluarga kecilnya nanti bahkan hingga keturunan ke 3. Namun ia juga paham, jika Ester tidak melulu soal materi karena sang puan sudah hidup berkecukupan bahkan bergelimangan sejak kecil. Oleh karena itulah ia tak melarang dan sedikit terpaksa jika memang istrinya ingin tetap bekerja untuk mengejar karirnya.

"Aku berangkat sekarang, kalau butuh sesuatu bilang sama bibi. Kalau ada apa-apa telepon aku. Ingat, jangan sekali-kali kamu berani keluar rumah tanpa sepengetahuan dan izinku," ujar Damian yang lebih tepat seperti perintah pada akhirnya.

One Night Sleep Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang