9

865 141 7
                                    

9

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9

"Hiks, anakku, hiks..., Sadewa sayangku." Mami menempelkan pipinya di pipi Kenanga, ah atau lebih tepatnya pipi Sadewa.

Sejak keluar dari rumah sakit, perempuan yang masih terlihat cantik dengan kulit yang kencang di umurnya yang mungkin sudah hampir lima puluh tahun itu tak henti-hentinya memeluk Kenanga. Kenanga harus menyejajarkan tubuh ini agar kepalanya bisa sejajar dengan kepala Mami, membuatnya duduk dengan miring ke kanan.

Papi yang sedang mengemudikan mobil, berdeham. "Mi, kepala Sadewa ... hati-hati."

"Oh, iya, Anakku nggak apa-apa, kan, kepala kamu?" Mami menjauhkan Kenanga dengan hati-hati sembari memegang kedua pipi Kenanga. Mami menoleh pada Papi. "Sayang! Anak kita jadi lebih banyak diam. Nggak kayak biasanya yang banyak cincong, hiks...."

Kenanga mengerjap. Memangnya Sadewa seperti apa biasanya? Di ingatan Kenanga, Sadewa itu cowok yang pecicilan yang dia pikir malaikat maut yang sedang mengupil. Kenanga tak ingat banyak hal, tetapi ingatan itu terlintas di benaknya.

Kenanga bahkan tak ingat keluarga aslinya. Tak ingat juga dia sekolah di mana. Nama lengkapnya saja tak dia ketahui. Jika seperti ini, maka sulit untuk mencari keberadaan tubuh aslinya sendiri.

Sadewa mungkin yang memasuki tubuh aslinya.

Kenanga menaruh kedua tangannya di pipi Mami. "Kepala Sadewa sekarang baik-baik aja, kok. Mi."

Mami melotot sambil menoleh pada Papi. "Papi! Papi! Anak kita!" serunya. "Hilang ingatan ngebuat Sadewa sikapnya jadi lembut ke Mami! Biasanya marah-marah mulu. Ngambekan." Mami menyisir rambut Kenanga. "Mami selalu sayang kamu dalam versi apa pun kamu, Nak. Ini rambut kamu udah kepanjangan. Besok kita ke salon, mau?"

Kenanga mengangguk dan tersenyum canggung. Ditolehkannya pandangannya pada Papi yang mengintipnya di cermin mobil bagian atas. Papi langsung mengalihkan pandangan sambil berdeham.

Saat pertama kali melihat Papi, hanya ada wajah yang penuh rasa bersalah di sana.

Mobil berhenti di lampu merah. Rombongan teman Sadewa yang mengendarai motor ikut berhenti. Ada yang di sisi samping kanan mobil Papi, ada di sisi kiri. Ada juga di bagian belakang yang lebih banyak lagi. Mereka terlalu banyak dan memenuhi jalan hanya untuk mengantar Sadewa pulang. Kenanga agak tidak nyaman dengan semua ini, tetapi beginilah pertemanan Sadewa.

"Sadewa," panggil Papi.

"Iya, Pa ... pi?" tanya Kenanga pelan.

"Papi minta maaf. Semua gara-gara Papi." Papi menaruh lengannya di jendela dan memegang keningnya dengan tangan. Dia terisak pelan. "Papi..., hiks Papi ... ini semua gara-gara Papi."

Kenanga melirik angka yang terus berganti. Masih lama. Cewek itu mendekat dengan tubuh tingginya, lalu memeluk leher Papi dari belakang jok.

Mami berteriak panik. "Sa—sayang, kamu nggak lagi pengin cekik Papi, kan?"

Kenanga menggeleng kencang. Apakah Sadewa pernah mencekik ayahnya sendiri? "Aku cuma mau meluk ... Papi."

"Mami gimana, sih? Kan Dewa hilang ingatan." Papi tertawa sambil menepuk lengan Kenanga. "Yah, apa pun itu. Papa janji akan selalu jagain kamu."

Kenanga segera kembali ke tempatnya.

"Sini, Nak." Mami menepuk-nepuk pahanya. "Kepala kamu di sini."

Kenanga awalnya ragu, tetapi Mami mekmaksa dan membuatnya berbaring dengan kaki tertekuk sembari menaruh kepalanya di paha Mami.

Mami mengusap-usap rambut Kenanga.

Kenanga memejamkan mata. Hatinya menghangat. Meski tak ingat banyak hal, tetapi Kenanga ... tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, seumur hidupnya.

***


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang