5

1.3K 167 11
                                    


by sirhayani

part of zhkansas

5

Keenan mengangguk karena kantuk. Dia tak boleh tidur karena merasa harus menjaga Kenanga sepanjang waktu. Hanya dirinya yang dipunya Kenanga saat ini. Temn-teman sekolah dan guru hanya akan sekadar datang menjenguk.

Mama tak mengizinkannya untuk izin sekolah, tetapi Keenan nekat hanya demi menjaga Kenanga yang sendirian di rumah sakit ini. Keenan tak akan membiarkan Kenanga kesepian di kamar rumah sakit. Pasien di brankar sebelah sudah pulang. Keenan tak bisa lagi menitip Kenanga kepada keluarga pasien itu yang bahkan baru Keenan kenal ketika bertemu di kamar ini.

Sebuah keberuntungan Kenanga masih bisa bertahan. Dokter bahkan takjub pada keajaiban yang dialami Kenanga. Darah yang banyak keluar dari pembuluh darah di kepalanya tak membuat Kenanga meninggal di tempat. Kepala yang jatuh duluan tak membuat tengkorak kepalanya retak.

Meski semua itu bahkan di luar logika dokter, Keenan bersyukur Kenanga masih diberi kesempatan hidup.

Keenan mengusap punggung tangan Kenanga sambil menunduk. "Kenanga," bisiknya, parau. "Bangun, please...? Ini udah beberapa hari. Gue ... janji nggak akan ninggalin lo walau sedetik aja. Gue bodoh. Kenapa milih buat jagain lo dari jauh disaat gue bisa dengan tegas buat jagain lo dari dekat?"

"Ngah, bangsat."

Keenan melotot. Matanya yang setengah mengantuk itu tiba-tiba menjadi segar mendengar suara yang tentunya berasal dari mulut Kenanga. Cowok itu melihat sekeliling. Hanya ada mereka di kamar itu. Benar.... Barusan Kenanga yang berbicara....

Akan tetapi, mana mungkin Kenanga yang lemah lembut bicara seperti itu?

"Kenanga?" Keenan mengerjap berkali-kali. Tangannya menyentuh dengan lembut rambut Kenanga. "Tadi ... lo ngomong...?"

Bibir Kenanga bergerak. Pun dengan matanya yang bergetar. Keenan berdiri dari kursi yang dia duduki dengan jantung berdegup kencang. "Kenanga?"

Cewek itu membuka matanya, mengerjap perlahan-lahan, lalu memandang sekeliling. Keenan tersenyum menahan tangis. Kenanga mengernyit padanya, lalu menarik tangannya dari Keenan, membuat Keenan tersentak atas penolakan itu.

"Lo siapa?" tanya Kenanga dengan kening yang berkerut dalam. Dia langsung duduk, membuat Keenan panik.

"Nga, jangan langsung duduk!" serunya khawatir.

"Nga. Nga. Nga. Gue Dewa!" seru Kenanga. Keenan meneguk ludah sembari menarik tangan Kenanga, tetapi cewek itu menepis dengan kasar. "Tangan gue ini hanya untuk dipegang temen-temen gue dan cewek-cewek cantik. Siapa, sih, lo? Kita kenal?"

Keenan keringat dingin. Kenanga hilang ingatan? "Ini gue. Keenan. Lo nggak ingat gue?"

Kenanga menatapnya sinis. "Sana lo. Gue nggak doyan rudal. Gue juga punya." Cewek itu tiba-tiba berdiri sambil ancang-ancang membuka celana. "Nih, mau lihat?"

Keenan shock. Dia ikut naik ke brankar, menahan tangan Kenanga yang hampir membuka celana.

"Apa-apaan..., ck! Kepala lo kayaknya bermasalah. Gue panggil dokter. Baring dulu dengan tenang. Oke?" Keenan memaksa Kenanga duduk. Setelah Kenanga duduk dengan anteng, barulah Keenan melangkah keluar dari kamar rumah sakit. "Tunggu di sana!" serunya, mengintip sebentar dari luar, sebelum menutup pintu dan berlari mencari dokter.

***

Akhirnya, cowok tak dikenalnya itu pergi.

Sadewa sengaja ingin memperlihatkan belalai gajahnya, tetapi tak mungkin juga dia memperlihatkannya kepada orang lain. Dia hanya ingin cowok tak dikenalnya itu segera pergi. Mungkin saja kan dia berasal dari sekolah musuh?

Akan tetapi, di mana ini? Rumah sakit? Sadewa melihat sekeliling sambil mengingat-ingat yang terjadi.

Ah, kepalanya terasa kosong. Dia tak bisa mengingat apa pun.

Ini membingungkan. Meski merasa punya sekolah musuh, tetapi siapa sekolah musuhnya? Dia sendiri sekolah di mana? Dia punya banyak teman, tetapi siapa teman-temannya itu? Sadewa tak ingat bagaimana wajah teman-temannya dan siapa nama-nama mereka.

Apakah dirinya mempunyai keluarga? Ada.... Mami, Papi..., tetapi Sadewa tak ingat seperti apa wajah mereka.

Sadewa mendorong tiang selang infusnya sembari keluar dari balkon dan menghirup udara luar. Rambutnya yang panjang beterbangan.

Panjang...?

Sadewa memegang ujung rambutnya, lalu menatap tangannya yang lembut. Cowok itu kembali ke kamar dan menemukan sebuah cermin yang menggantung.

Seorang perempuan berkulit pucat dan tubuh yang kurus muncul di sana.

"Lo siapa?" Sadewa mengernyit. Setan di cermin itu mengikutinya!

"Nama gue kan Sadewa, ya?" tanya Sadewa. "Gue itu cowok. Suara gue juga kenapa kayak cewek begini? Gue pikir tadi pendengaran gue bermasalah gara-gara kecelakaan." Dia mengusap dagunya. "Lah, bulu halus di sini ilang." Cowok yang ada di tubuh seorang cewek itu mengangkat sedikit kepalanya sembari memperhatikan dagunya yang mulus.

"Gue kecelakaan apa, ya? Gue nggak ingat apa pun anying. Kenapa pantulan gue cewek yang kelihatan lemah begini?"

***




Two TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang