14

739 130 9
                                    

selamat membaca!

love,

sirhayani

14

Hari ini, Kenanga akan berangkat bersama Nathan.

Mami dan Papi tak marah saat Nathan meminta izin kepada mereka untuk menjemput Sadewa, mengingat Sadewa yang kecelakaan tunggal karena mengendarai motor. Nathan katanya ingin tiba bersamanya di sekolah sembari berharap hal-hal kecil yang merupakan kebiasaan Sadewa ini bisa membuat Sadewa mengingat perlahan-lahan ingatan yang telah Sadewa lupakan.

Sebenarnya, Kenanga tak masalah jika dibonceng di motor, tetapi yang memboncengnya ini Nathan! Cowok berwajah teduh, tetapi memiliki mata elang yang selalu membuat jantung Kenanga tak tenang tiap berpandangan dengannya.

"Ini helm kamu." Mami memakaikan helm di kepala Kenanga. Mami benar-benar memperlakukan Sadewa seperti anak kecil. "Nah, hati-hati di jalan."

"Yuk." Nathan sudah siap di atas motornya yang menyala.

Ada dua motor lainnya. Vasco dan Kurdianto. Ardi dan Dwi. Keempat cowok itu terus memandang Kenanga dari motor mereka, membuat Kenanga jadi tidak nyaman.

Kenanga turun dari tangga perlahan-lahan, lalu dia mencoba menaiki motor besar Nathan sembari meremas tas Nathan karena hanya tas Nathan yang berani dia pegang. Refleks, cewek itu duduk menyamping ketika duduk di jok motor Nathan, membuatnya tubuhnya jadi miring.

Vasco, Kurdi, Ardi, dan Dwi terlihat menahan tawa mereka.

"Dewa, jangan duduk kayak gitu." Mami menghampiri Kenanga dengan khawatir. "Itu kayak temen-temen kamu."

Kenanga menahan malu saat dia berdiri di footstep untuk mengubah posisi duduknya. Kini dia duduk seperti yang lain. Kedua tangannya memegang erat ransel Nathan.

"Duluan, Tante!" seru Nathan. Teman lainnya pun pamit.

Kenanga melambaikan tangan pada Mami dengan canggung, tetapi lambaian tangannya itu terlihat melambai dengan lembut.

"AHAHAHAA!" Vasco, yang mengendarai motor, tertawa kencang sampa akhirnya lengannya ditampar Kurdi.

Kenanga memegang erat tas Nathan sembari memperhatikan empat cowok yang saling bicara, teapi tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya bibir mereka yang bergerak.

Ada satu kata yang bisa Kenanga baca dari gerakan bibir Kurdi, yaitu dukun.

Kenanga menaikkan alis. Ada apa, sih, dengan empat cowok itu?

***

"Ini sesuatu yang parah banget! Gimana bisa bos kita yang strong, muka dan kelakuan preman, tiba-tiba lemah lembut kayak gitu? Apalagi kalau bukan karena kerasukan hantu cewek!" Dwi dengan semangat menceritakan kembali apa yang dia lihat. Dia dan yang lain tak terus ke sekolah dan malah berbelok untuk ke rumah dukun dekat rumah Ardi. Alasan mereka saat pamit pada Nathan adalah ada urusan mendadak yang baru mereka ingat.

Mereka sudah tiba di depan rumah yang terlihat suram. Dwi meneguk ludah sambil mendorong bahu Ardi. "Lo duluan. Kan tetangga lo."

"Tetangga apaan? Jauh anjir!" seru Ardi.

"Ya namanya tetangga jauh!" Dwi berdecak, lalu mulai melangkah setelah menyimpan helmnya di spion motor. "Sini kalian. Pada penakut." Dwi meneguk ludah di depan pintu rumah putih yang kusam. Dia mengetuk-ngetuk pintu. "Pe—permisi...."

Pintu itu terbuka. Seorang nenek tua sekitaran tujuh puluh tahun dengan selendang hitam muncul, mengagetkan Dwi dan yang lain.

"Anu...." Dwi menepuk pantat Vasco saat temannya itu komat-kamit, entah apa yang dia katakan. "Begini, Nek. Apa benar di sini ada dukun...?"

"Saya sendiri."

"Anu..., begini. Teman kami ada yang kecelakaan. Nah, habis siuman itu dia hilang ingatan, tapi kami nggak yakin dia beneran hilang ingatan karena saat dia siuman dia nyebut dirinya Kenanga. Sementara temen kami namanya Sadewa. Tingkahnya juga kecewek-cewekan...."

Nenek Dukun menatap yang lain satu per satu, membuat ketiganya ketakutan oleh mata yang terlihat hawa mencekam itu. "Mana orangnya?"

"Nggak bisa datang, Nenek Dukun," balas Dwi, tenggorokannya mulai kering.

Nenek Dukun membuka pintu lebar-lebar. "Silakan masuk. Lanjutkan di dalam."

Mereka saling pandang dan saling dorong, membuat Dwi pasrah dan berjalan pelan di depan. Diikuti Ardi, Vasco, dan terakhir adalah Kurdi.

"Tunggu di sini sebentar." Nenek Dukun menunjuk kursi kayu yang terlihat lapuk, lalu memasuki sebuah kamar yang hanya ditutup oleh kain.

Keempatnya duduk dengan hati-hati, menautkan jemari, sembari melihat sekeliling.

Terdengar suara berisik dari dalam. Sepuluh menit kemudian, Nenek Dukun akhirnya bersuara. "Kalian berempat silakan masuk."

Dwi memimpin, lalu keempatnya duduk bersila sejajar.

Nenek Dukun menggunakan selendang merah yang menutupi kepala dan seluruh wajahnya. Semua jari tangannya melingkar cincin batu berukuran besar.

"MA!"

Semuanya tersentak kaget.

"Malagsahahauetr ahguzgjtkf uilyfgulnixkwq." Nenek Dukun mulai mengeluarkan ucapan-ucapan yang tak dimengerti mereka dengan tangan yang memutar di sebuah batu bulat bercahaya. "MAHTRJGSBUHF HGEDGWK DKJSWKRGU."

Dwi meneguk ludah.

Dukun itu mengambil sebuah gelas, meminumnya, berkumur berkali-kali, lalu menyemburkannya ke depan.

"BANG!" Vasco menahan diri untuk tidak bersuara.

"Hm, benar. Di dalam tubuh teman kamu yang bernama Sadewa memang benar ada jiwa hantu perempuan bernama Kenanga."

***


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Two TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang